Jumat, 17 Agustus 2018

Dibalik Seorang Pahlawan



Siapa yang mengenal istri seorang Abu Bakar Ash Shiddiq? Siapa pula yang mengenal istri Umar bin Khattab? Siapa yang mengetahui istri Imam Syafi’i atau Imam Hasan Al Banna? Atau siapa pula yang mengenal sang ibu dari kedua tokoh tersebut? Hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Nama istri dan ibu mereka tak seharum nama mereka. Seantero jagad raya sudah terlalu terpesona dengan kiprah Abu Bakar, Umar, Hasan Al Banna serta Imam Syafi’i. Mereka terlupa orang-orang di balik mereka.

Juga kenalkah kita dengan istri Muhammad Natsir? Atau istri Buya Hamka? Atau bahkan suami seorang Cut Nyak Dien? Tak semua orang mengenalnya, bukan? Hanya mereka yang mendalami sejarahnya sajalah yang mengetahui nama mereka. Mereka tak dikenal, insan nusantara sudah begitu kagum hanya akan jasa para pahlawan nasional.

Tahukah kalian bagaimana kiprah orang-orang di belakang para pahlawan? Bagaimana pengorbanannya? Mungkin kita mengenal para pahlawan dan mengelu-elukannya. Memujinya serta mengutip setiap kata mutiaranya. Tapi pernahkah kita berpikir apa yang dirasakan orang terdekat para pahlawan?

Mereka merasakan pahit getirnya perjuangan para pahlawan. Mereka menjadi aktor sulitnya menyelesaikan kerja-kerja besar. Bahkan Al Mutanabbi, seorang penyair masyur dari Arab berkata “Orang luar mengagumi kedermawanan seorang pahlawan, tapi tidak merasakan kemiskinan yang mungkin diciptakan kedermawanan. Orang luar mengagumi keberanian sang pahlawan, tetapi mereka tidak merasakan luka pahlawan menghantarkannya menuju kematian.”

Pernahkah kalian merasa apa yang dipikirkan keluarga Abu Bakar ketika manusia agung itu menginfakkan seluruh hartanya dan mengatakan, “Saya menyisakan Allah dan Rasul-Nya buat mereka (keluarga Abu-Bakar).” Atau ketika Hasan Al Banna meninggalkan istri dan anaknya yang sedang sakit parah untuk sebuah agenda dakwah.

Bukan hal mudah bertahan dalam hal genting, bukan hal ringan membersamai para pahlawan. Jalan mereka mendaki, penuh onak duri, dan kesulitan akan selalu membersamai mereka. Terlebih lagi kematian yang selalu mengintai para pahlawan. Karena mungkin saja mereka, para pahlawan dengan keberanian yang tinggi tak takut akan sebuah kematian.

Bagaimana dengan keluarga para pahlawan? Mereka mungkin juga tak takut mati, karena memang dalam kehidupan bukan kematian diri sendirilah yang begitu menakutkan, namun perginya sang orang tercinta.
Maka benarlah kata banyak orang, jika Anda terkagum dengan seorang bujang yang hebat, maka lihatlah ibunya. Jika Anda terperangah dengan lelaki luar biasa, maka lihatlah istrinya. Karena jika seorang suami bersinar terang karyanya, biasanya sang istri meredup, tak dilihat orang banyak. Karena segala potensi dirinya telah dia baktikan untuk sang suami. Begitupun sebaliknya.

Karena menjadi pendorong dari belakang bukanlah hal mudah. Mungkin para pahlawan terjatuh, mentalnya mengatakan ingin menyerah. Namun orang sekitar para pahlawanlah yang menguatkan. Mungkin para pahlawan timbul ketakutan, keberaniannya menyusut. Namun keluarga merekalah yang mengembalikan keberanian itu.

Hal ini tak mudah, butuh orang berjiwa besar untuk berada di balik orang besar. Dan kita harus menyiapkan potensi kita untuk kerja-kerja besar agar tercapai kejayaan peradaban islam. Sudahkah kita menyiapkannya?

0 komentar:

Posting Komentar