Rabu, 01 Agustus 2018

Membunuh Cinta dalam Dada

Tak semua cinta harus menjadi nyata, tak semua rasa berubah realita. Kadang harus ada perasaan yang terluka, kadang ada cinta yang tak berdaya.

Jika itu adanya, maka menikam cinta hingga tiada adalah sebuah solusi nyata. Namun tak semua insan mampu memaksanya sirna. Banyak cerita hingga kisah yang gagal membunuh cinta dalam dada.

Sebut saja dia Nasr bin Hajjaj, lelaki ganteng di zaman Sang Khalifah Umar ibn Khattab yang berjaya. Lelaki tampan idola para wanita. Wajahnya gagah rupawan. Senyumnya aduhai menawan.

Pasca di deportasi ke irak karna ketampanannya, Ia jatuh cinta, namun pada perempuan yang tak seharusnya.

Cintanya berlabuh ke istri lelaki tuannya. Tentu saja cintanya tak bisa menjadi realita. Dengan terpaksa ia membunuh rasa. Namun ia menjadi tak berdaya.

Rasa yang harus ia tikam hingga hilang ternyata menyerang balik tubuhnya. Ia menderita, hingga memaksanya memeras air mata.

Jadilah tubuh kekarnya menjadi kering kerontang, wajah tampannya hilang. Dan berakhir dengan nyawa melayang.

Ia nestapa karna rasa. Ia berduka karna tak mampu membunuh cinta. “Dari dulu beginilah cinta, penderitaan tiada akhir.” begitulah ungkapan Pangeran Tian Feng, rekan Sun Go Kong mencari Kitab Suci. Walau fiksi tapi penuh arti.

Begitu juga dengan Qais yang harus sakit jiwa, Sampek yang mesti kehilangan nyawa, Romeo yang tertimpa lara, juga Zainuddin yang sepanjang hidup penuh duka.

Dari mereka kita belajar. Jika gagal engkau membunuh cinta dalam dada, karna tak kunjung menjadi nyata. Maka tunggulah rasa itu akan membawamu dalam nestapa.

#MelangkahMenginspirasi
.
📷 Puding dengan penuh air mata, harus memotong memori agar Sanji pergi tanpa beban di jiwa. OP 902.

0 komentar:

Posting Komentar