Matanya
Sembab, wajahnya memerah. Air mata mulai mengalir membasahi pipinya. Dia
menangis. Ya, dia menangis, dan seluruh orang terkejut,
termasuk aku. Kakak kelas itu mulai memasang wajah bingung. Terharu kah dia?
Tidak, wajahnya tak menggambarkan itu. Dan semua orang-pun mulai bingung akan
respon Najma atas pernyataan cinta ini.
“Lu kenapa
ma?” seorang siswi bertanya.
Najma
bergeming, ia masih berusaha menata tangisnya. Dengan sesenggukan Najma
berulang kali mengusap air mata dari wajahnya. Lelaki itu maju, mengangkat
tangannya. Ingin ikut mengusap air mata di pipi si gadis bermata sendu itu. Najma
beringsut mundur. Gesturnya menunjukkan ia tak mau disentuh.
“Kamu kenapa
Najma?” Kini kakak kelas itu bertanya pelan, menatapnya lamat-lamat.
“Lu kenapa si?
Jawab ngapa, jangan diem-diem mulu.” Gadis yang sedari tadi senyum dengan genit
sekarang mulai memasang wajah jutek.
Kini seisi
kelas menanti pernyataan sikap Najma. Ungkapan cinta dan respon Najma semakin
membuat hati setiap insan di kelas bertanya-tanya. Apa yang akan di ucapkan
Najma?
“Aku.....”
Najma mulai membuka mulutnya. “Aku nggak mau pacaran dan nggak akan pacaran.”
Gadis
berjilbab itu berlari menerobos lingkaran manusia yang mengerumuninya menuju
bangku tempat ia duduk sebelumnya. Ia terduduk dan menutup wajahnya. Sikapnya
itu diikuti dengan teriakan kecewa “para penonton” prosesi penembakan. Beberapa
suara sumbang dari kerumunan orang terdengar, seperti “sok jual mahal banget
sih lo” atau “ih kampung banget” dan berbagai perkataan lainnya. Sedangkan
kakak kelas itu tersenyum, lalu meninggalkan kelas dengan santai. Entah apa
yang ia rasa, rekor tak pernah ditolaknya runtuh. Kini gadis bermata sendu itu
telah menolaknya.
Ditengah
pandangan sinis beberapa orang dikelas. Aku terpaku dengan kejadian yang baru
saja ku lihat. Kini mataku mulai menatap gadis itu. Melihat dirinya yang telah
menangkup kepalanya di meja yang berada
dihadapannya. Dan tanpa ku sadar dalam tatapan itu ada simpati yang hadir, ada rasa kagum yang menyelinap, dan ada
benih-benih rasa yang hadir tak ku pahami.
Maka kejadian
itu menjadi awal ini semua. Awal dari cinta yang menggelora, dan rindu yang
menyembilu. Dan perasaan itu semakin meningkat saat beberapa minggu kemudian,
seorang guru merombak tempat duduk kelas kami khusus satu hari. Entah takdir
seperti apa hingga kita bertemu menjadi teman sebangku.
Aku canggung,
begitu juga dia. Maka jadilah kami sepasang manusia pemalu yang menjadikan diam
sebagai bahasa pertemuan pertama. Sampai akhirnya aku mencoba memecah sunyi.
Dengan bertanya beberapa hal.
“Najma?”
“Ya?”
“Ada satu hal
yang aku penasaran sama kamu. boleh nanya ngga?”
“Boleh-boleh
aja kok.”
“Kamu kenapa
nangis waktu itu? Waktu kamu di tembak kakak keren itu?”
Najma terdiam.
Dan aku menjadi salah tingkah menghadapi kesunyian ini.
“Eh, kalo kamu
nggak nyaman, nggak usah dijawab juga gapapa” ucapku.
Najma kini
tersenyum. Lalu beberapa saat kemudian dia mulai menjawab lagi.
“Aku nggak mau
pacaran dulu cakra.”
“Kenapa?”
“Aku udah
berprinsip akan hal itu. Tuhan nggak suka perbuatan itu. Dan aku juga nggak mau
kayak cewek-cewek biasa cak. Dan aku akan mencoba mempertahankan itu.”
Najma
mengakhiri kata-katanya dengan simpul senyum di bibirnya. Kali ini senyumnya
lebih menawan dari sebelumnya. Aku bahkan sampai lupa bernafas sesaat memandang
wajah serta mendengar jawabannya. Wanita berprinsip memang selalu mempesona.
Kami-pun
melanjutkan hari itu dengan berbagai perbincangan. Hingga aku mengetahui banyak
hal tentangnya. Bahwa ia adalah anak sulung dari 5 bersaudara, juga kehidupan
ekonomi yang sulit ia alami. Aku menikmati kebersamaan hari itu. Karena itu
adalah pembicaraan terakhir aku dan dia yang cukup lama.
Sejak saat
itu, kami tak pernah berbincang lama akan suatu hal. Karena memang dia yang
selalu bersama teman wanitanya dan aku lelaki pemalu yang tak pandai memulai
perbincangan. Terlebih ketika kenaikan kelas memisahkan kita di kelas yang
berbeda. Berbincang dengannya adalah hal yang sangat sulit. Bahkan lebih sulit
dari menuliskan sebuah puisi atau menghafal bahasa latin pelajaran biologi,
kedua hal yang juga dia sukai—itu juga aku ketahui dari orang lain.
Semuanya
berlanjut hingga kelulusan tiba, dan aku mendengar kabar bahwa dia memilih
untuk meninggalkan kota. “Keluarga kami harus meninggalkan kota, di desa
lebih tenang.” Begitu ucapnya, walau aku tahu, bahwa ayahnya bangkrut dalam
dagang hingga membuat mereka harus kembali kedesa.
Kami berpisah,
tanpa salam apalagi pertemuan terakhir. Ia pergi begitu saja, tanpa alamat atau
nomor yang dapat aku hubungi. Dia hilang, dan membawa seluruh rasa ini
bersamanya. Beberapa cara aku coba untuk sekedar mencari informasi tentangnya.
Tempatnya tinggal, sosial media, bahkan nomor telepon genggam-pun tak ada. Semua nihil. Hingga akhirnya aku terhenyak, cinta macam apa yang tak berdaya dengan sebuah kata perpisahan.
Delapan tahun lamanya aku mencari, sewindu
lamanya aku menata rindu. Dan kini Tuhan menjawab do’a-do’a ku. Dia hadir dalam
bentuk daftar kehadiran alumni angkatan sekolah menengah pertama. Disebuah
acara yang aku pilih untuk tidak hadir sebelumnya. Akan tetapi ia hadir. Dan
aku akan menemuinya. Disini, di acara ini.
“Eh elu
ngapain si bengong aja.” Suara dari disamping ku memecahkan lamunanku. Seorang
teman memukul pundak yang sebelum-sebelumnya hanya menebar lelucon ke
teman-teman yang lain.
“Haha, apaan
dah lu. Lanjut-lanjutlah ngelawaknya.” Aku mencairkan suasana. Dan selanjutnya
aku memilih untuk lebur dalam suasana hangat teman-teman lama ini. Mulutku
mulai berbicara banyak, bercerita tentang kuliah dan pekerjaanku di sebuah perusahaan asuransi.
Lima menit
berlalu, pintu cafe terbuka untuk kesekian kalinya. Namun kali ini berbeda, ada
sesuatu yang istimewa. Sesosok gadis berjilbab biru dengan campuran warna gamis
berwarna putih kebiruan hadir di balik pintu cafe yang terbuka perlahan.
Wanita itu datang, gurat wajahnya berubah, terlebih postur tubuhnya. Ia menjadi
sesosok gadis yang berbeda, akan tetapi
auranya sama.
Air mukanya
menggambarkan kedewasaan, langkahnya melukiskan kematangan. Ia menjadi sosok
wanita yang mempesona. Ah ya matanya, masih mata sendu seperti dulu. Teduh,
seperti cahaya rembulan. Ia kini berjalan menuju meja yang cukup jauh dari ku.
Dan aku tetap terpaku di sini, di bangku dan meja ini tanpa bersuara dan
berkedip. Pernahkah kau merasakan mulutmu kelu, nafasmu terhenti sejenak dan
jantungmu berdegup kencang? Maka itu yang ku rasakan kini.
Dari kejauhan
ia tersenyum. Bukan. Senyum itu bukan untuk ku, tapi untuk teman-teman wanita lain. Lalu dia
melambai, juga bukan untukku, Namun untuk teman lain di ujung sana. Ah aku
lupa, bukankah dari dulu seperti itu, aku adalah manusia tak tampak dihadapannya. Lelaki penyendiri yang hawanya tak terasa. Bahkan sampai saat
ini-pun aku tetap menjadi sosok pemalu yang bingung mencari cara untuk
berbincang dengannya. (Bersambung)