Begitu kelam, tak ada
bintang yang tampak. Terlebih rembulan, seluruhnya tersaput oleh awan. Malam itu sunyi, tak seorang manusia yang
terlihat, tak ada obrolan atau gelak tawa yang terlacak. Hanya sayup-sayup suara jangkrik yang terdengar
jelas. Juga detak suara jam dinding yang tak mau kalah menghentak telinga.
Hening dan sepi, tapi tidak untuk perasaan Selma. Hatinya bergemuruh kencang,
banyak pertanyaan yang hadir, dia bingung juga sedih. Bukankah kabar siang tadi
harusnya menjadi kabar gembira? Mengapa malam ini dia menangis?
Selma tak mengerti apa
yang terjadi pada dirinya. Disudut kamar 4x4 itu dia meringkuk. Lampu kamar tak
menyala, gelap menyelimuti tubuhnya. Kepalanya tertunduk, tangannya memeluk
kedua kakinya. Suaranya terisak-isak, tubuhnya gemetar. Sesekali dia mendongak keatas, menyeka air
mata. Lalu kembali menangis lagi. Dalam keheningan dia bertanya dalam hati. Mengapa kabar bahagia ini begitu
menyakitkan?
***
“Harusnya elu seneng,
Selma.” Diah mendengus kesal melihat temannya yang satu ini. Sejak kajian pagi
dimulai hingga perjalanan pulang, Selma terus memasang wajah muram. Bagaimana
bisa kabar sebahagia itu membuat dia murung berkepanjangan.
Selma menatap mata
Diah, lalu kembali tertunduk. Dia menghembus nafas, langkahnya berat. Lalu ia
memegang ujung jilbabnya yang terjulur panjan. Ibu jari dan telunjuknya memainkan
kain berbahan wolpeach itu. Dia
teringat perjuangannya untuk bisa berpenampilan seperti ini. Diah belum mengetahuinya, wajar dia tak
mengerti. Ungkapnya dalam hati.
Tak ada suara lagi
terdengar dari lisan kedua wanita berjilbab ini. Setapak jalan dari masjid
menuju kos mereka hanya diiringi suara kendaraan lalu lalang. Selma diam, tak
menjawab pertanyaan teman dekatnya. Sedangkan Diah masih terheran, bagaimana
bisa dia semurung itu mendapat kabar sebaik kemarin? Dia saja lompat-lompat tak
jelas di kamar kosnya ketika sore kemarin Selma menelpon bahwa lelaki itu
datang ke rumahnya di Jakarta. Bicara dengan kedua orangtuanya, melamar Selma.
Wanita mana yang tak
akan bahagia dilamar lelaki sesempurna Fatur? Lelaki teduh, berwajah ganteng,
aktifis organisasi islam, dan lagi dia adalah hafizh Qur’an. Setidaknya 20-an
juz al-Qur’an telah ia hafal. Walaupun jurusan kuliahnya adalah Matematika,
namun ia sering mengisi ceramah-ceramah di berbagai tempat. Kurang komplit apa
lagi? Ditambah lagi keluarganya adalah tokoh agama di provinsi ini. Pendidikan
Fatur sebelum masuk kampus ini-pun juga ia habiskan di Islamic Boarding School. Lelaki baik, dari keluarga baik dan
pergaulannya terjaga baik. Benar-benar lelaki sempurna.
Berita hebatnya kemarin
siang dia sendiri datang bersama temannya untuk melamar Selma. Jauh-jauh pergi
ke Jakarta untuk menemui orangtuanya. Dalam hati Diah, jika ia yang dilamar,
mungkin ia sudah terbang kelangit tertinggi, saking senangnya. Dan jika kabar
ini tersebar seantero kampus, entah berapa banyak wanita yang patah hati
mendengarnya. Tapi ini sangat mengherankan, tak ada rona bahagia terpancar dari
wajah Selma pagi ini. Dia seperti menyembunyikan sesuatu yang amat pelik dalam
hatinya. Melihat wajah Selma yang tertekuk dari pagi, Diah memilih diam. Dia
tak mau mengorek lebih dalam. Cepat atau
lambat Selma akan cerita kepadanya, begitu gumamnya.
Tiba-tiba hujan turun, tanpa
waktu yang lama, hujan tersebut berangsur-angsur lebih deras. Tanpa pikir
panjang, kedua gadis ini berlari menuju kedai bakso. Niat awal mereka berteduh,
karena sungkan dan tergoda aroma yang sedap, mereka akhirnya memutuskan memesan
dua mangkok bakso. Kedai itu cukup luas dan masih lengang. Diah mengajak Selma
memilih meja paling ujung, lebih jauh dari pegawai kedai dan mungkin lebih
nyaman jika seandainya Selma ingin bercerita, karena topik mereka tak akan
terdengar.
Lima belas menit
berlalu, dua mangkok yang telah terpesan itu sudah habis. Sedangkan hujan
semakin deras diluar, mereka terjebak, harus bertahan lebih lama lagi di dalam
kedai itu. Melihat keadaan, Diah ingin bertanya lebih dalam lagi. Namun sebelum
terucap sebuah kata dari mulut Diah, Selma terlebih dulu bicara. Memulai
obrolan.
“Aku bingung, Diah.”
Diah tetap diam, menunggu kata berikutnya dari Selma. wajahnya memasang mimik
seakan bertanya dalam diamnya. Bingung
kenapa?
“Aku
takut dia menyesal, Diah. Aku takut Fatur menyesal.”
“Fatur lelaki Shalih
kok, Selma. Kekhawatiranmu berlebihan saja. Memangnya kenapa, Sih?”
“Aku..... ” Setengah
berbisik Selma menuntaskan ucapannya. Mata Diah terbelalak. Dalam hatinya dia
tak menyangka mendengar itu. Bagaimana bisa?
*Bersambung*