Jumat, 29 Januari 2016

Dagelan Kehidupan

Kadang saya tertawa melihat dagelan bernama kehidupan. Bahkan mungkin diri ini yang sering menertawakan pertunjukan alam bertema diri sendiri. Tertawa lalu termenung, tersenyum dan kembali murung.

Pada saat tertentu ada pertempuran yang sulit diterjemahkan akal. Kadang Ambisi itu sangat membara, namun pada kesempatan lain ini sangat klise. Seakan-akan tubuh ingin meninggalkannya dan hidup biasa. Menikmati sisa umur yang ada dan menenggak secangkir susu coklat tanpa ada resah tiap malam.

Walau hanya dalam hitungan detik kemudian kembali sebagian diri melawan. Ia tak terima tubuh ini bersantai ria. Kembali aku terkesiap. Kembali tertunduk, lalu memandang kebelakang. Kembali aku tertawa kecil. Terlihat episode dimana diri mengalahkan keegoisan yang begitu menyeruak memenuhi sekujur tubuh. Kadang pula aku tersunkur tak berdaya hingga kepala ini begitu keras.

Memang ada potongan hidup yang senantiasa membuat kita merasa menjadi pemenang dan potongan lainnya menunjukkan kita seorang pecundang. Walau aku kadang tak mengerti siapa yang pantas disebut pemenang dan yang pantas disebut pecundang. Kadang mereka yang dilabeli pemenang oleh masyarakat adalah sang pecundang sesungguhnya, dan mereka yang terjustifikasi pecundang oleh banyak mata manusia kadang adalah pemenang sesungguhnya.

Kadang dunia memang tidak adil mengartikan keadilan, dan pada dasarnya semua jargon kemuliaan versi dunia ini adalah klise. 

Ketidakadilan itu juga merambah soal rasa. Kadang kala sepotong hati hadir menyapa diri, harga diri resisten. Begitu juga dengan masa lalu yang dulu adalah kufu terbaik kita hadir dipelupuk mata. Ia tersenyum dan aku tersenyum, lalu ia memberi harap dan kembai harga diri ini tak terima.

Argh, apa itu rasa? Apa itu harga diri? Atau aku terlalu banyak berpikir? Atau memang aku sudah harus mencukupi ini semua?

Terkadang, terkadang dan terkadang. Terlalu banyak terkadang yang mengerumuni otak yang kadang 'terkadang' itu tak begitu logis untuk dipikirkan. 

Sudahlah, bukankah Rumi pernah berkata bahwa dunia ini adalah anak tangga? Dan anak tangga ada untuk dipijak lalu kita tinggalkan begitu saja. Bukan malah berlarut-larut dalam sebuah anak tangga, terduduk pilu dan menutup kepala dengan kedua tangan.

Maka biarlah aku kembali menjadi musafir yang lebih suka tempat-tempat sunyi dan hening. Belajar akan makna kesederhanaan yang mewah dan kerendahan hati yang menawan. Bukankah pembelajaran hidup dari-Nya sudah sangat cukup mengajarkan engkau akan hal itu? 

Sebut saja aku ini lelaki dalam sepi yang terkadang silau dalam panggung dagelan ini. Dan memilih dibelakang panggung untuk sedikit menguras keringat lalu menyepi. Agar aku tak berakhir menjadi seseorang tak peka lalu merugi. 

-AP-


Minggu, 17 Januari 2016

Inilah Pertanda Shalat Kita Khusyu atau Tidak

Shalat khusyu, mukmin mana yang tak ingin melaksanakan shalat dengan khusyu. Tentu kita semua juga ingin shalat dengan khusyu. Allah sendiri berfirman dalam Al-Mu'minun ayat 1-2
"Telah beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyu' dalam shalatnya"
Maka dari itu kekhusyu'an dalam shalat adalah keberuntungan yang patut kita perjuangkan.

Akan tetapi masih banyak yang salah dalam mengartikan khusyu'. Hingga ada guyonan ketika seseorang tak mendengar panggilan atau bunyi dari suatu hal, dengan tenangnya ia berkata "Sorry bro, gue gak denger, tadi lagi khusyu'nya shalat gue."

Jadi kawan, khusyu' itu bukan tidak mendengar apapun. Piring pecah ngga kedengeran, kompor meleduk ngga kedengeran, bahkan sampe bom disarinah meledak juga ngga kedengeran. Bukan seperti itu.

Terus apa dong tanda shalat khusyu?

Bukan saya yang jawab, tapi coba kita tanyakan kepada hujjatul islam, yaitu Imam Al-Ghazali. Beliau berkata: 
“Tanda shalat yang khusyu adalah, tercegahnya sang pelaku dari berbuat keji dan mungkar hingga ke shalat berikutnya. Jika subuhmu khusyu, mana antara subuh hingga dzuhur kau kan terjaga dari berbuat yang nista dan yang jahat hingga tibanya waktu dzuhur. Begitu seterusnya.”
Masya Allah, jadi khusyu'nya seseorang bukan dilihat dari betapa tenangnya ia shalat dari takbir hingga salam. Namun terjaganya ia dari kemaksiatan dari salam hingga takbir kembali. 

Maka lihatlah shalat kita, apakah ia telah menjaga kita dari berbagai dosa? Terjaga dari hal-hal kemaksiatan seperti durhaka kepada orangtua, berkata bohong, berbuat curang (nyontek, titip absen),  menyentuh lawan jenis yang haram disentuh atau bahkan berzina, mengumbar aurat, memakan makanan haram, dan berbagai kemaksiatan lain. 

Karena pada dasarnya setiap amal akan meneguhkan hati untuk selalu menjaga diri dari hal-hal buruk. Maka benarlah "Tanda diterimanya amal hamba disisi Allah" ucap seorang muhaddits mulia  bernama Ibn Rajab Al Hanbali "adalah ketika satu ketaatan menuntunnya pada ketaatan yang lebih baik lagi. Adapun tanda ditolaknya amal adalah ketika ketaatannya disusuli dengan kemaksiatan, ia tak tercegah darinya."

Sudahkah shalat kita menjauhkan kita dari maksiat kepada-Nya?

#MelangkahMenginspirasi



Sabtu, 02 Januari 2016

Poros Peradaban Disekitar Kita


Mungkin kita termenung kala menatap diri. Terlahir biasa saja. Hadir di negeri yang amburadul. Di kota yang berantakan. Menjalani sekolah yang tak istimewa. Dan berbagai kesialan yang sering di dengung-dengungkan banyak orang.

Mungkin dalam decak kagum kita memandang luar biasanya karya para aktor peradaban, kita hanya merasa kerdil dan kecil. Hanya merasa, bahwa mereka adalah “titisan” Tuhan yang memang namanya sudah di takdirkan tertulis di tinta emas sejarah, sedangkan kita hanya makhluk Tuhan yang ditakdirkan tak dapat berbuat apa-apa.

Setiap manusia memang sudah digariskan dalam skenario-Nya. Akan tetapi tahukah engkau, Allah tak menakdirkan seseorang tanpa perjuangan sang hamba. Maka dari itu, izinkan saya mengatakan:

Mereka yang tak merasakan jerih payah dan kepedihan dalam langkah awalnya. Tak pantas mencapai puncak kegemilangan dalam langkah akhirnya.

Karena pada hakikatnya, hidup ini adalah labirin yang menghubungkan berbagai kisah yang akan dihadapi umat manusia. Dan dalam tikungan tertentu di labirin tersebut, terdapat “pintu rahasia” untuk mengkoneksikan orang yang selama ini ‘biasa saja’ untuk memasuki kerja-kerja peradaban. 

Maka boleh saja kalian terlahir biasa, tak lahir dalam lingkaran para aktor sejarah. Namun, engkau harus berjuang untuk menemukan”pintu rahasia” itu. Karena bisa saja poros peradaban yang dirasakan para pahlawan sudah ada di sekitar kita. 

Sudahkah kita berjuang untuknya?
 #MelangkahMenginspirasi