Rabu, 24 Februari 2016

Cinta Adalah Memberi



Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain.
Sebab tangan yang satu tak dapat bertepuk tanpa tangan yang lain.
(Rumi)

Mungkin kita akan langsung berkata bahwa bait puisi Rumi di atas adalah sebuah keidealan. Itulah yang diharapkan namun tak semua orang merasakan. Karena memang terdapat banyak realita yang bertentangan dengan itu.

Lihatlah apa yang terjadi, berapa banyak kisah yang menggambarkan peliknya cinta yang tak terbalas. Betapa nestapanya cinta yang tak bersatu. Ia hanya bermuara rintihan, tangis dan kegilaan. Maka majnun-lah Qais, cintanya terbentur tembok yang keras. Laila sang pujaan hati tak kunjung dipelukkan, mereka tak berdaya untuk merealisasikan cinta dan nestapa-lah mereka dalam rindu yang perlahan membunuh jiwa.

Juga patahlah sayap-sayap Kahlil Gibran. Hatinya jatuh dan terluka, malamnya robek menoreh seribu duka. Hanya rindu yang tertancap di hatinya yang beku. Bahkan ia retak, hancur bagai serpihan cermin. Maka lihatlah bagaimana Gibran mengais sisa hati karena cintanya terhadap Seima yang tak kunjung bersatu.

Tapi bagaimana ceritanya jika cinta itu kita awali dan akhiri kepada Allah. Maka sisanya hanya upaya ‘menunjukkan cinta’. Karena pada dasarnya cinta dan kebahagiaan adalah dua hal yang berbeda.

Dan penderitaan yang terjadi bukan karena mereka mencintai. Karena proses mencintai adalah pekerjaan agung dan suci. Ia tak pantas disandingkan dengan nestapa.

Mereka menderita adalah karena mereka menggantungkan kebahagiaan kepada sosok tercinta. Maka bila kekasih hati tak kunjung tiba, maka bahagia juga sirna. Dan yang tersisa hanya air mata dan kecewa.

Jadi, tak ada cinta yang bertepuk sebelah tangan. Karena pada hakikatnya, cinta adalah memberi. Ia tak menuntut balasan atau menagih kebersamaan. Ia hanya perlu tempat untuk menunjukkan cinta yang bermuara ketulusan.

Dan bila penolakan itu hadir, kita tak perlu kecewa dan merasa lemah. Karena jika itu terjadi, cinta akan bertransformasi menjadi kesempatan memberi. Tak meminta pengertian atau rasa memiliki.

AP
#MelangkahMenginspirasi



gambar
  

Menetap

Tidak ada yang menetap.
Memangnya ada seseorang yang suka menetap di suatu tempat? Coba kau tunjukkan pada ku, apakah ada yang benar-benar menetap?
Karena manusia memang seperti itu, ia akan berlalu lalang, mencari sesuatu yang baru, menemukan hal yang selama ini diinginkan.

Menemukan.
Yakinkah kamu jika manusia telah menemukan ia akan tetap menetap?
Percayakah kamu jika dalam pertemuan itu ia akan bersatu?
Manusia memang membingungkan.
Seperti kebanyakan mereka yang senantiasa merindu mentari kala hujan menderas.
Atau menginginkan senja kala rembulan dan bintang gemintang telah berpadu.


Aneh.
Jika memang seperti itu, maka biarkan aku menjadi manusia aneh.
Aku tidak akan beranjak pergi jika sudah menemukan, aku tidak akan berlenggang kesana kemari jika yang diharapkan sudah di hadapan.

Aku ingin menetap, aku ingin berlabuh.
Bukan untuk menyerah, tapi untuk menghimpun semangat.
Karena jika pertemuan itu tak akan menyatukan, setidaknya menyuntikkanku kekuatan dalam penetapan.
Jika perpisahan adalah sebuah keniscayaan, setidaknya ia membasuh luka yang begitu menyakitkan diperjalanan ini.

Aku ingin menemukan lalu menetap.
Aneh memang, tapi biarlah manusia aneh ini sampai pada sebuah pertemuan. Agar alam dapat dengan lembut berbisik padaku. "Kamu tak sendirian "

-AP-



gambar

Kamis, 18 Februari 2016

Tiga Proses Keutuhan Tarbiyah

Bukan hanya sekedar proses berubah, namun tarbiyah adalah karya memuliakan yang terhina, menyucikan yang ternoda, meluruskan yang tersesat. Maka tak heran, seorang tokoh pemikir islam Muhammad Quthb dalam Manhajut-Tarbiyah Islamiyah, mengartikan tarbiyah dengan sebuah kata yang sederhana namun menunjukkan makna yang begitu luas dan benar.
At-tarbiyatu fannu shinaa’atil insan, Tarbiyah adalah seni menciptakan manusia.


Bila tarbiyah itu disandingkan dengan kata islam, maka ia adalah menciptakan manusia dengan nilai-nilai islam. Maka tugas tarbiyah islamiyah adalah “menciptakan ulang” manusia kembali kepada fitrahnya setelah ia mengalami penciptaan ruh, akal dan jasadnya. Karena pada dasarnya Allah mencipta setiap insan sebagai muslim, namun orangtua dan lingkuangnya lah yang menjadikannya agama lain.

Dalam proses “penciptaan ulang manusia” ini, tentu setiap output yang diproduksi dengan tarbiyah islamiyah ini adalah sosok insanus shalih, dan tidak hanya shalih, namun juga muslih (menshalihkan sekitar). Oleh karena itu keutuhan proses tarbiyah harus memenuhi tiga komponen. Agar tidak ada yang parsial diakhirnya.

Tiga komponen tersebut adalah an-nafs, al-aql, dan al jism. Mengolah ini semua tidak bisa parsial. Ia adalah satu kesatuan yang harus dikembangkan, agar islam yang syumul terderivasi kepada seorang muslim. Ia tidak seperti golongan yang mementingkan sucinya jiwa namun dalam pola fikir gerakkannya jauh dari sunnah. Atau begitu banyak pemikiran ilmiah, namun jiwa yang kering. Atau menjadi intelektual yang lemah fisik.

Maka seorang insanus shalih harus melewati tiga proses dalam “penciptaan ulang manusia” tersebut. Yaitu amaliyatut-ta’allumil-mustanir, yaitu proses belajar berkesinambungan dan terus menerus. Inilah salah satu hikmah mengapa Allah memulai mewahyukan Al-Qur’an dengan kata Iqra, dan kata ilmu terulang 750 kali dalam Al-Qur’an. Karena memang stiap muslim harus senantiasa memenuhi otak dan meluaskan pengetahuannya.

Selanjutnya amaliyatus-syu’uudil-mustamir, yaitu proses pendakian terus menerus untuk menjadi lebih baik dan lebih baik. Dalam mendaki mungkin kita terjatuh, tersungkur, berpeluh dan letih. Namun melangkahkan kaki dalam mendaki jalan panjang dakwah ini senantiasa harus dijalani seorang muslim agar dapat berdiri di puncak kebahagiaan di surga-Nya.

Dan yang ketiga adalah amaliyatul ‘athaa-il-mustamir, yaitu berkontribusi dalam ruang dan waktu secara berkesinambungan. Karena pada dasarnya insanus shalih seorang yang senantiasa bergerak dalam menggerakkan roda dakwah. Dan mereka selalu melahirkan peristiwa. Dan memang gerakan dakwah akan terus hadir untuk dunia karena setiap peristiwa yang dikerjakan para punggawa dakwah.

Ketiga proses ini tak dapat terlewatkan satu-pun. Karena apa yang kita harapkan dari sesuatu yang tak utuh? Ia hanya menjadi sesuatu yang rapuh dan mudah tercerai berai bila keutuhan tak lagi digenggaman.

#MelangkahMenginspirasi



gambar 



Selasa, 16 Februari 2016

Menghadapi Kesalahan dan Kemenagan


Siapa yang tak pernah merasakannya, sebuah kesenangan akan kemenangan dan kekecewaan atas kekalahan. Semua insan pasti pernah merasakannya, termasuk kita. Namun sebagian kita banyak yang khawatir akan sebuah kesalahan yang dapat menyebabkan kekalahan. Apalagi bila keadaan lingkungan yang tidak konstruktif hingga kita sulit untuk bangkit dan berjuang kembali. Sehingga menahan diri dari ledakan potensi kita.

Tentu kita perlu sikap yang tepat dalam menghadapi kesalahan diri atau orang lain. Dan tentu masa yang tepat untuk kita rujuk adalah masa Rasulullah SAW. Pada masa beliau kita dapat mengambil moment tentang kekalahan dan kemenangan.

Kekalahan yang dapat kita ambil salah satunya adalah perang Uhud. Dalam perang ini 70 sahabat termasuk Hamzah Ibn Abdul Muthalib dan Mushab Bin Umair. Bahkan Rasulullah mendapat luka cukup parah, hingga salah satu gigi beliau lepas.

Bila kita cermati lebih dalam, kekalahan Perang Uhud ini disebabkan karena tim pemanah yang tak menyelesaikan tugasnya. Akan tetapi kesalahan tim pemanah ini apakah langsung dijadikan kambing hitam dalam peperangan itu?

Maka silahkan teman-teman buka mushaf masing-masing, tak ada satu-pun ayat yang membahas kesalahan mereka, bahkan dalam surat Ali Imran ayat 137, Allah berfirman tentang Perang Uhud dengan kata-kata motivasi. “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kalian sunnah-sunnah Allah, Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi....". Hal ini menunjukkan bahwa kekalahan adalah hal fitrah.

Dan Allah melanjutkan Hiburan pada ayat 139 dengan begitu menyejukkan “Dan janganlah kamu merasa lemah dan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu beriman.”

Semua ini mengajarkan kita jika dalam kerja-kerja dakwah kita ada yang melakukan kesalahan, tak perlu kita habisi ia dengan kritik. Karena orang yang salah tak perlu dikritik jika telah menyadari kesalahannya dan kedepannya akan memperbaiki kesalahan itu. Tapi jangan dipukul rata ya. Karena berbeda kasus jika tersalah itu tak menyadari dan enggan dalam memperbaiki langkah kedepan. Dalam konteks itu kritik itu perlu untuk membangun.

Karena orang yang salah tak perlu dikritik jika telah menyadari kesalahannya dan kedepannya akan memperbaiki kesalahan itu.

Selanjutnya ada hal menarik ketika kita melihat moment kemenangan, salah satu kemenangan besar muslim adalah Perang Badar. Kita bisa mengatakan ini kemenangan besar karena ini adalah salah satu perang yang begitu heroik dengan pengalaman perang muslim saat itu yang sedikit. 300 orang muslim menghadapi 1000 kafir quraisy. Dan berakhir dengan kemenangan.

Namun bukan pujian yang hadir dalam Al-Qur’an, tetapi adalah kritikan. Kita dapat lihat diawal surat Al-Anfal, itu adalah ayat teguran untuk kaum badar. Bahkan dalam menggambar keadaan itu, salah satu sahabat berkata “Laqad saa-at akhlaaquna yauma badr, Sesungguhnya akhlaq kami rusak setelah perang Badar.”

Itu menunjukkan bahwa para pemenang lebih membutuhkan kritikan dari pada pujian. Agar terjadi keseimbangan jiwa dan hilangnya euforia yang berlebihan yang dapat menjerumuskan dalam keangkuhan.

#MelangkahMenginspirasi

Selasa, 09 Februari 2016

Turunnya Motivasi dan Alam yang Tak Mengizinkan



Rabu pagi menjelang siang ini saya ingin sedikit bercerita tentang keadaan yang saya alami akhir-akhir ini. Kira-kira sudah sudah satu tahun saya mengalami the law of deminishing motivation (temennya law of deminishing marginal return) #MicroEffect :D. Penurunan itu sedikit demi sedikit sehingga begitu bias dan tak terasa. Semakin bertambah sampai itu semua terakumulasi dalam 2 atau 3 hari terakhir ini.

Entah kenapa semakin turun. Saya yang biasa bergerak dalam ritme yang cukup tinggi kini mulai melambat. Bahkan sampai-sampai dihari minggu ketika membawa motor ingin pulang dan menepi di warung makan dekat Fakultas Kedokteran Jati, saya berpikir “pengen ilang dari peradaban sebentar, seenggaknya sebulan kalo enggak  bisa dua minggu aja.” Jadilah pemikiran untuk hilang sebentar, sedikit menyepi dan menenangkan diri. Menghilangkan jenuh dan kegalauan karena suatu target yang kemungkinan harus ditunda realisasinya sama beberapa target lainnya yang juga tertunda.

Namun ternyata alam tak mengizinkan saya mengasingkan diri. Baru saja menuju parkiran dan menghidupkan motor, saya teringat bahwa hari itu adalah pembukaan Rumah Gadang FIM Sumbar. Jadilah saya putar balik dan menuju sekre FIM. Hingga sampai jam 2, amanah saya yang lain kembali memanggil saya untuk memimpin rapat di pasar baru dekat Unand. Hingga sore kembali menuju asrama menyelesaikan sesuatu kerjaan hingga malam.

Hari berganti kembali berbagai kegiatan menyita, dari pagi setelah agenda subuh bersama adik-adik asrama langsung capcus menunaikan amanah yang maha penting untuk gerakan di kampus. Dan menyita waktu hingga zuhur.

Kala itu sambil menunggu jadwal rapat selanjutnya nanti sore, saya bersilaturrahim ke rumah doni tentu masih dalam keadaan motivasi yang masih turun. “Don, kasih motivasi dong” pinta saya. “Hah, Azmul kan orang yang paling optimis yang doni kenal” Jawabnya dengan sigap. Walau kurang puas jawabanya tapi cukup untuk saya flashback berbagai testimoni yang pernah saya dapat dari berbagai teman di pelatihan, daurah, organisasi, kepanitiaan, mahasiswa saat saya mengajar dan kegiatan lain-lainnya. Testimoni mereka pasti tak jauh dari, Azmul sosok yang selalu semangat dan antusias, penuh dengan rasa optimis.

Saya-pun malu, karena saat ini menurun semangat dan motivasi. Namun dalam penurunan ini juga masih dituntut berbagai kegiatan lagi. Saya-pun pergi ke masjid FK Jati untuk memimpin rapat FSLDK bersama pimpinan LDK se-kota padang untuk gerakan yang akan kita selenggarakan tanggal 14 nanti dan sekali lagi masih dalam keadaan motivasi yang masih dibawah. Selesai disana, langsung berlanjut pertemuan pembina di Desaung dan berakhir dalam menghadiri kampanye capres di asrama.
Tak hanya itu juga, besoknya, kegiatan hari selasa juga menyita banyak pikiran. Baik menemui WR3 dan berbagai agenda hingga malam. Saya-pun tertegun, padahal udah mengikrarkan diri untuk sejenak meninggalkan banyak kegiatan. Namun seakan-akan alam tak terima. Berbagai agenda menghujani saya. Dan membuat saya tak sempat memikirkan keinginan itu.

Tidak hanya tak mengizinkan, lingkungan saya juga memberi jawaban. Baru kemarin, tepatnya selasa malam saya mendapat jawaban. Dari tulisan dan arahan bang ivan ahda, ketua Forum Indonesia Muda nasional di grup panitia FIM 18. Saya dapat jawaban, walau tak eksplisit, namun tulisannya tersirat bahwa tak ada waktu untuk santai dan menghilang. Karena sebagai pemuda yang punya visi untuk bangsa, kita harus bergerak dengan ritme tinggi, tempo cepat dan dinamis.

Mungkin banyak hal yang menjatuhkan diri kita, seperti target yang tertunda, kurangnya apresiasi, tantangan yang semakin tinggi dan cadas serta berbagai hal yang tak sesuai ekspektasi kita. Tapi kita harus kembali menjadi sosok yang kembali mengevaluasi dan menghimpun kekuatan pribadi agar lebih bermanfaat lagi. It’s time to correction and improvement ourself.

Satu hal lagi, saya beruntung memiliki lingkungan yang memaksa saya untuk tak berleha-leha. Berbagai amanah yang menyeret saya untuk terus bergerak. Dan orang-orang sekitar yang begitu banyak inspirasi yang dapat direguk. Kembali jargon hidup saya mencambuk diri ini. Bahwa langkah terbaik setelah terinspirasi adalah menginspirasi #MelangkahMenginspirasi.

So, yuk kita bangun lingkungan kita yang tak mengizinkan diri tak produktif, bangun alam sekitar menjadi alam yang menjaga dari kemunduran. Karena setiap manusia pasti memiliki masa-masa down, jenuh dan tak bergairah. Namun dengan adanya lingkungan dengan ritme tinggi itulah yang menjaga semangat, gairah dan motivasi kita.

Yuk bangun lingkungan kita biar tidak dengan mudah mengizinkan kita untuk berhenti dalam produktifitas.
#MelangkahMenginspirasi



Minggu, 07 Februari 2016

Lelaki dalam Sepi

Lihatlah lelaki dalam sepi
Yang begitu tenang duduk terpekur di ruang sunyi
Hingga pikiran melalang buana tiada henti
Dan membiarkan diri larut dalam buaian hening

Pandanglah lelaki dalam sepi
Yang memasang wajah penuh semangat kala ramai
Lalu menggantinya dengan wajah sendu saat seorang diri
Merenungi setiap potret kehidupan diselimuti malam yang dingin

Tataplah lelaki dalam sepi
Yang seringkali menatap rembulan bila hati gerimis
Memandangnya lamat-lamat, lalu terpesona dan menyukai
Menunjuk-nunjuk dengan tangan kanan dan menghadiahinya puisi

Perhatikanlah Lelaki dalam sepi
Yang begitu korelis dan sanguinis kala kalian membersamai
Lalu berubah melankolis kala tak ada lagi yang menemani
Keceriaan yang berubah begitu saja menjadi lara yang tak terperi

Simaklah lelaki dalam sepi
Yang berorganisasi atau mencoba meraih prestasi
Mencari setiap kesibukan agar tak merasa sendiri
Walau kadang angin tetap saja mengingatkan bahwa ia takkan pergi

Tujukan matamu ke lelaki dalam sepi
Yang berulang kali bercanda untuk menghadiri gelak tawa agar membunuh sepi
Atau menemui kalian dengan menyuguhkan obrolan hangat ditemani secangkir kopi
Atau mungkin dengan sedikit membaca, membolak-balik buku menghabiskan hari

Itulah lelaki dalam sepi
Yang mencoba membiasakan diri agar tak bergidik kala umur telah mati
Mencoba memahami bahwa dirahim ibu pun kita menyepi
Dan dalam alam kubur nanti juga berteman sepi

Maka biarkan mereka menjadi lelaki dalam sepi
Karena pada dasarnya manusia adalah pecinta kesepian
Yang senang bersedu-sedan dalam kesendirian
Membiarkan hati mencari nilai sampai fajar menepi

Saksikanlah
Bukankah sepotong keheningan dapat menghadirkan inspirasi?

Lelaki dalam Sepi
-Azmul Pawzi-
#MelangkahMenginspirasi