Setidaknya saya setuju
dengan apa yang dikatakan novelis penerima nobel dari jepang bernama
Yasunari Kawabata. Ia berkata bahwa “Manusia yang tak mau gelisah, sesungguhnya
ia telah mati”. Karena memang kegelisahan bagaikan gerigi yang memaksa
seseorang untuk bergerak dan berpikir. Dan pastilah setiap perubahan besar
dimuka bumi ini berasal dari sebuah kata yang bernama gelisah.
Setiap otak yang diisi
kegelisahan akan memaksa dirinya mencari solusi dari masalah yang meresahkan
diri. Semakin besar masalah yang dipikirkan, semakin besar juga kegelisahan
yang menimpanya. Namun jika masalah besar itu ditemukan jalan keluarnya, maka
semakin luas jugalah dampak yang dibuatnya.
Soekarno, Hatta, Natsir
dan berbagai pahlawan bangsa ini dulunya hanya para pemuda yang gelisah. Mereka
khawatir akan penjajahan yang merajalela. Pikiran mereka dipenuhi akan
kebebasan yang terkungkung kolonialisme. Hati mereka tak nyaman akan
imperialisme yang hadir di tanah kelahiran mereka. Menyimpan segala kegelisahan
itu, naruni kepahlawanan dalam diri mereka memberontak. Mereka tak bisa memilih
untuk diam dari segala gundah gulana didada mereka. Sehingga karena itu semua,
mereka lahir menjadi sosok pejuang yang menjadi aktor kemerdekaan bangsa.
Seorang pahlawan butuh
kegelisahan untuk bergerak. Seorang pejuang butuh kegelisahan untuk berkarya.
Dan dengan kegelisahan itu pula yang membuat sebagian generasi awal islam
menjadi pengikut setia Nabi Muhammad SAW dan memeluk islam. Layaknya Abu Bakar
yang sejak awal tak menyukai berbagai maksiat dari kaum Jahiliyyah. Ketika
Rasulullah hadir membawa ajaran Tauhid, ia menyambut dengan cepat. Seakan-akan
setiap pertanyaan dalam jiwanya terjawab sudah, dan putra Abdullah itulah yang
membawa jawaban atas pertanyaan yang menghantui dirinya. Juga Abu Dzar Al
Ghifari yang rela bermandi keringat melewati teriknya gurun sahara. Berletih
ria berjalan dari kampung halaman menuju mekah untuk menemui Muhammad SAW. agar
sang Rasul membacakan perkataan yang ingin ia dengar. Yang mungkin perkataan
itu telah menjadi pertanyaan besar dalam hidupnya yang membuat hatinya gelisah
dan membawanya ke daerah kelahiran Sang Nabi.
Seorang pahlawan butuh kegelisahan untuk bergerak. Seorang pejuang butuh kegelisahan untuk berkarya.
Kegelisahan bisa
menjadi awal cahaya islam masuk. Kegelisahan bisa menjadi jalan hidayah yang
mengantarkan seorang manusia menjalankan islam secara paripurna. Dan seperti
yang kita tahu, hidayah bisa hadir dari manapun dan kapanpun. Waktunya tak
terduga, dan kita harus berjuang menyambutnya. Kadang dia hadir dari sebuah
pertanyaan atau hal yang ingin sekali kita ingin tahu.
Membangkitkan kegelisahan dapat bermula dari berbagai hal. Dalam kasus diri sendiri, kegelisahanku hadir dengan cara yang begitu sederhana. Dia hanya berawal dari keingintahuan akan seseorang, dan menimbulkan sebuah pertanyaan “siapa dia?”
Kala itu setelah shalat
berjama’ah isya, aku menyempatkan diri duduk-duduk di teras masjid sekedar
berdiskusi atau mungkin hanya mendengar pembicaraan para jama’ah lainnya yang juga
sedang mengobrol ringan. Dan entah darimana awalnya, obrolan malam itu tentang
seorang pejuang islam yang meninggal ditangan pemerintah. Dan demi mendengar
kematiannya, warga Amerika ketika itu sontak bahagia. Seorang yang menceritakan
itu mengambil dari kesaksian seorang ustadz, yang dihari kemudian baru saya
ketahui ustadz tersebut bernama Sayyid Quthb.
Maka karena rasa
penasaran yang mulai memenuhi dada, aku bertanyalah tentang seorang yang
disebut meninggal oleh makar dari pemerintah kepada Mas Fajar. Beliau adalah salah satu
pengurus masjid yang sering memberikan saya ilmu keislaman selama saya
tergabung menjadi remaja masjid.
“Hasan Al Banna ini siapa
ya mas?”
“Dia itu pendiri
organisasi Ikhwanul Muslimin, salah satu gerakan dakwah yang berkembang pesat
abad ini. Dan gerakan organisasi ini ditakuti oleh Amerika”
Ikhwanul Muslimin?
gerakan dakwah? Amerika takut? pembunuhan? Jadilah dalam perjalanan pulang aku
bertanya-tanya akan banyak hal. Manusia macam apa yang membuat dia ditakuti negara
adidaya seperti Amerika sehingga pemerintah membuat makar untuk membunuhnya
bahkan sampai meminta Rumah Sakit untuk tidak merawatnya agar dia meninggal
karena kehabisan darah. Manusia macam apa Hasan Al Banna itu? Namun malam itu
aku masih memendam pertanyaan itu. Belum ada upaya mencari tahu apalagi
mempelajari pemikirannya.
Hingga esok harinya
disekolah, seorang teman wanita yang berjilbab besar sedang komat-kamit sebelum
bel pagi berbunyi. Karena penasaran lagi, aku bertanya ke wanita itu.
“Eh lu baca apaan?”
“Al-Matsurat mul.”
Jawabnya singkat. Sungguh sejak kecil diri ini mengaji, bahkan hingga SMA masih
berlanjut, belum pernah mendengar bacaan bernama Al-Matsurat.
“Apaan tu Al-Matsurat?”
Tanya ku kembali. Lalu dia menyodorkan sebuah buku kecil dan tipis bertulis
Al-Matsurat. Dan yang membuat ku tertarik, ada nama Hasan Al Banna dibagian
sampulnya.
“Lu tau Hasan Al Banna?
Dia yang nulis ini?”
“Engga mul, Al-Matsurat
itu dari Al-Qur’an dan Hadits. Beliau cuma nyusun aja. Kalo Hasan Al Bannanya
siapa, mmm gue juga lupa-lupa.” Jawabnya dengan sedikit tertawa.
Maka beberapa kejadian
itu menjadikan aku semakin penasaran, barulah aku mulai bertekad untuk mencari
tahu siapakah Hasan Al Banna itu, dan gerakan macam apa Ikhwanul Muslimin itu.”
Bersambung