Rabu, 31 Agustus 2016

Kegelisahan itu Hadir – Serial Setapak Jalan Dakwah (Part 2)

Setidaknya saya setuju dengan apa yang dikatakan novelis penerima nobel dari jepang bernama Yasunari Kawabata. Ia berkata bahwa “Manusia yang tak mau gelisah, sesungguhnya ia telah mati”. Karena memang kegelisahan bagaikan gerigi yang memaksa seseorang untuk bergerak dan berpikir. Dan pastilah setiap perubahan besar dimuka bumi ini berasal dari sebuah kata yang bernama gelisah.

Setiap otak yang diisi kegelisahan akan memaksa dirinya mencari solusi dari masalah yang meresahkan diri. Semakin besar masalah yang dipikirkan, semakin besar juga kegelisahan yang menimpanya. Namun jika masalah besar itu ditemukan jalan keluarnya, maka semakin luas jugalah dampak yang dibuatnya.

Soekarno, Hatta, Natsir dan berbagai pahlawan bangsa ini dulunya hanya para pemuda yang gelisah. Mereka khawatir akan penjajahan yang merajalela. Pikiran mereka dipenuhi akan kebebasan yang terkungkung kolonialisme. Hati mereka tak nyaman akan imperialisme yang hadir di tanah kelahiran mereka. Menyimpan segala kegelisahan itu, naruni kepahlawanan dalam diri mereka memberontak. Mereka tak bisa memilih untuk diam dari segala gundah gulana didada mereka. Sehingga karena itu semua, mereka lahir menjadi sosok pejuang yang menjadi aktor kemerdekaan bangsa.

Seorang pahlawan butuh kegelisahan untuk bergerak. Seorang pejuang butuh kegelisahan untuk berkarya. Dan dengan kegelisahan itu pula yang membuat sebagian generasi awal islam menjadi pengikut setia Nabi Muhammad SAW dan memeluk islam. Layaknya Abu Bakar yang sejak awal tak menyukai berbagai maksiat dari kaum Jahiliyyah. Ketika Rasulullah hadir membawa ajaran Tauhid, ia menyambut dengan cepat. Seakan-akan setiap pertanyaan dalam jiwanya terjawab sudah, dan putra Abdullah itulah yang membawa jawaban atas pertanyaan yang menghantui dirinya. Juga Abu Dzar Al Ghifari yang rela bermandi keringat melewati teriknya gurun sahara. Berletih ria berjalan dari kampung halaman menuju mekah untuk menemui Muhammad SAW. agar sang Rasul membacakan perkataan yang ingin ia dengar. Yang mungkin perkataan itu telah menjadi pertanyaan besar dalam hidupnya yang membuat hatinya gelisah dan membawanya ke daerah kelahiran Sang Nabi.
Seorang pahlawan butuh kegelisahan untuk bergerak. Seorang pejuang butuh kegelisahan untuk berkarya.
Kegelisahan bisa menjadi awal cahaya islam masuk. Kegelisahan bisa menjadi jalan hidayah yang mengantarkan seorang manusia menjalankan islam secara paripurna. Dan seperti yang kita tahu, hidayah bisa hadir dari manapun dan kapanpun. Waktunya tak terduga, dan kita harus berjuang menyambutnya. Kadang dia hadir dari sebuah pertanyaan atau hal yang ingin sekali kita ingin tahu.

Membangkitkan kegelisahan dapat bermula dari berbagai hal. Dalam kasus diri sendiri, kegelisahanku hadir dengan cara yang begitu sederhana. Dia hanya berawal dari keingintahuan akan seseorang, dan menimbulkan sebuah pertanyaan “siapa dia?”

Kala itu setelah shalat berjama’ah isya, aku menyempatkan diri duduk-duduk di teras masjid sekedar berdiskusi atau mungkin hanya mendengar pembicaraan para jama’ah lainnya yang juga sedang mengobrol ringan. Dan entah darimana awalnya, obrolan malam itu tentang seorang pejuang islam yang meninggal ditangan pemerintah. Dan demi mendengar kematiannya, warga Amerika ketika itu sontak bahagia. Seorang yang menceritakan itu mengambil dari kesaksian seorang ustadz, yang dihari kemudian baru saya ketahui ustadz tersebut bernama Sayyid Quthb.

Maka karena rasa penasaran yang mulai memenuhi dada, aku bertanyalah tentang seorang yang disebut meninggal oleh makar dari pemerintah kepada Mas Fajar. Beliau adalah salah satu pengurus masjid yang sering memberikan saya ilmu keislaman selama saya tergabung menjadi remaja masjid.

“Hasan Al Banna ini siapa ya mas?”

“Dia itu pendiri organisasi Ikhwanul Muslimin, salah satu gerakan dakwah yang berkembang pesat abad ini. Dan gerakan organisasi ini ditakuti oleh Amerika”

Ikhwanul Muslimin? gerakan dakwah? Amerika takut? pembunuhan? Jadilah dalam perjalanan pulang aku bertanya-tanya akan banyak hal. Manusia macam apa yang membuat dia ditakuti negara adidaya seperti Amerika sehingga pemerintah membuat makar untuk membunuhnya bahkan sampai meminta Rumah Sakit untuk tidak merawatnya agar dia meninggal karena kehabisan darah. Manusia macam apa Hasan Al Banna itu? Namun malam itu aku masih memendam pertanyaan itu. Belum ada upaya mencari tahu apalagi mempelajari pemikirannya.

Hingga esok harinya disekolah, seorang teman wanita yang berjilbab besar sedang komat-kamit sebelum bel pagi berbunyi. Karena penasaran lagi, aku bertanya ke wanita itu.

“Eh lu baca apaan?”

“Al-Matsurat mul.” Jawabnya singkat. Sungguh sejak kecil diri ini mengaji, bahkan hingga SMA masih berlanjut, belum pernah mendengar bacaan bernama Al-Matsurat.

“Apaan tu Al-Matsurat?” Tanya ku kembali. Lalu dia menyodorkan sebuah buku kecil dan tipis bertulis Al-Matsurat. Dan yang membuat ku tertarik, ada nama Hasan Al Banna dibagian sampulnya.

“Lu tau Hasan Al Banna? Dia yang nulis ini?”

“Engga mul, Al-Matsurat itu dari Al-Qur’an dan Hadits. Beliau cuma nyusun aja. Kalo Hasan Al Bannanya siapa, mmm gue juga lupa-lupa.” Jawabnya dengan sedikit tertawa.

Maka beberapa kejadian itu menjadikan aku semakin penasaran, barulah aku mulai bertekad untuk mencari tahu siapakah Hasan Al Banna itu, dan gerakan macam apa Ikhwanul Muslimin itu.”


Bersambung



Rabu, 24 Agustus 2016

Pada Mulanya – Serial Setapak Jalan Dakwah (Part 1)


Dalam buku berjudul Fityatun Amanu bi Rabbihim seorang ulama masyur dari Arab Saudi bernama Aidh Al Qarni memaparkan dua penyakit yang menimpa generasi muda, yaitu Syubhat dan Syahwat. Syubhat adalah penyakit yang menyerang pola pikiran manusia sehingga menjadi ragu terhadap Sang Maha Pencipta, membawa kesesatan hingga menyebar pemikiran atheis. Penyakit ini sangatlah berbahaya, karena ia menggerogoti pemikiran dan akan menjadikan penderitanya menjadi orang-orang sok pintar yang membahas Agama tanpa landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang pas.

Kita bisa saja mengambil contoh para pemikir islam liberal yang membuat pernyataan-pernyataan yang mengobok-obok pemikiran umat islam. Contoh pernyataan pemikir liberal yang seperti ini. “Agama adalah urusan pribadi dengan Tuhannya, jadi fokuslah ibadah kita masing-masing.

Maka lihatlah betapa banyak pemuda yang termakan dengan pemikiran ini. Sehingga ketika sebuah nasihat terlontar dalam tempat nongkrong mereka, tanpa waktu panjang akan banyak perkataan seperti “Lu urus sendirilah diri lu, biar gue urus diri gue” atau “Ga usah ceramah-ceramahin gue, lu kalo mau ceramah ke masjid tuh,  jangan disini.” Dan tentunya banyak lagi jawaban atas sebuah pernyataan itu. Pemikiran ini sungguh mengkebiri kebiasaan saling menasihati antar pemuda, sekaligus menghilangkan sosial kontrol yang ada di masyarakat. Sehingga bisa saja kemaksiatan merajalalela tanpa ada orang yan meluruskan.

Tentu saja itu baru satu contoh. Belum lagi berbagai pemikiran-pemikiran sok-sok filsafat yang membawa kepada kesyirikan. Seperti “Allah itu Maha Pencipta, apakah Allah dapat menciptakan Allah lainnya.” Atau “Semua agama itu sama, nggak perlu lah merasa agama paling bener.” Naudzubillah, inilah salah satu penyakit yang membuat para pemuda tersesat sehingga jauh dari Allah Azza wa Jalla.

Penyakit selanjutnya adalah syahwat. Ini menjadi penyakit yang begitu mengerikan. Karena bila syahwat ini tak terkendali, maka ia akan menjadi produsen dosa yang sangat sulit dihentikan. Karena syahwat ini menjanjikan kesenangan dan kebebasan. Kita ambil contoh tiga hal penyakit syahwat, pacaran, video porno dan mabuk-mabukan.

Sungguh, tiga hal ini bukanlah hal asing disekitaran pemuda. Berpesta dengan berbotol-botol anggur, berbatang-batang gele (ganja) dan berbagai hal memabukan lainnya. Muda-mudi berjalan ria, menghabiskan hari dengan suka cita, bergandeng tangan, tertawa hingga akhirnya hubungan badan atas hubungan pacaran. Hingga pemuda yang candu akan melihat video dan foto-foto porno.

Syubhat dan Syahwat, keduanya menjadi krisis, dan aku sebagai pemuda akhir zaman melihatnya, mendengarnya, bahkan merasakan berbagai penyakit umat ini. Maka izinkan aku bercerita tentang pengalamanku dalam melihat fenomena ini dalam kacamata sebagai pemuda.

Aku adalah pemuda yang lahir dan besar di Jakarta. Sebuah kota metropolitan yang menjadi pusat perkembangan berbagai hal, termasuk kehidupan sosial. Dalam beragamnya pergaulan di ibukota negara. Allah menakdirkan aku menjadi anak supel yang mampu menyesuaikan berbagai pergaulan. Maka jadilah aku seorang pemuda yang dapat merasakan berbagai pergaulan, baik itu anak-anak warnet yang sering main game online, anak jalanan yang kerjanya nongkrong pinggir jalan dan beberapa kali tawuran, anak band rock, anak-anak pintar yang kerjanya belajar, dan berbagai pergaulan lainnya. Semua pergaulan itu tentunya diluar aktivitasku yang juga menjalani berbagai organisasi dan ekstrakulikuler.  

Dalam beragamnya warna pergaulan maka wajar jika aku melihat berbagai kemerosotan umat. Yang anehnya pada saat itu ternyata para pemudanya (termasuk aku saat itu) mengatakan itu “keren”. Pernahkah kau melihatnya, seorang anak gadis kelas 6 SD menjadi pelampiasan syahwat para anak-anak kecil lainnya dan ternyata anak gadis itu senang?

Aku yang saat ini sesungguhnya tidak percaya, namun ternyata kehidupan masa lalu memang merekamnya sangat jelas. Ketika itu teman-teman seumuran yang kala itu berstatus siswa SMP kelas satu hingga kelas tiga sudah nongkrong di tempat biasa, di pinggir jalan belakang sebuah supermarket. Saat itu aku datang terlambat, kira-kira jam setengah 11 malam, dan langsung dikagetkan ada seorang gadis yang sudah dikelilingi teman-temanku dan melakukan ciuman bergantian dengan kira-kira ada 5 hingga 7 orang disana.

“Cewek dari mana tuh?” tanya ku penasaran.

“Katanya sih anak kampungan ******, kelas 6 tu bocah baru.” Jawab seorang temanku yang saat itu baru saja membakar rokoknya.

“Ko bisa disini tu anak?”

“Ngga tau dah, ketemu aja tadi. Di ajak nongkrong mau-mau aja die.”

“Dari jam berapa tu anak dimari?” Tanyaku lebih dalam.

“Yaelah banyak nanya amat dah lu mul. Kalo pengen gabung dah sono.” Kembali dia menjawab yang kali ini menghembuskan asap rokok dari mulutnya.

“Ogah dah, males gue sama cewek dipake rame-rame gitu.” Jawabku singkat. Hal ini tidaklah bohong. Karena pada saat itu ekspektasi wanita yang ku inginkan waktu yang tidak semua lelaki bisa memegangnya dan juga aku masih takut dosa. Maklum saja, anak pengajian. Walau ku akui banyak isi pengajian itu yang tak terserap menjadi sebuah pemahaman. Maka jadilah aku saat itu seperti remaja biasanya, walau memang tidak separah yang lain.

Ketika malam semakin larut, tahukah kalian apa yang terjadi? Teman-temanku itu semakin beringas melakukan apa yang mereka inginkan ke gadis itu. Dan yang tak habis pikir, gadis itu senang-senang saja. Hingga setelah sekian lama, seorang diantara teman-temanku menyuruh agar jangan banyak-banyak yang disini. “Dua orang aja disini, jangan kebanyakan. Nanti gantian” begitu ucapnya. Dan akhirnya kami yang tersisa berpencar. Aku yang masa bodo dan ogah ambil pusing lebih memilih pulang dan pergi kerumah. Apa yang terjadi selanjutnya? Aku tak tahu, yang pasti mengerikan jika dibayangkan.

Tidak begitu lama aku mengikuti pergaulan dijalanan seperti itu, hanya beberapa bulan saja. Karena memang ketika itu adrenalin ku sudah terpompa dalam berselancar di dunia para gamer. Kehidupan bermain game online menjadikan aku pelanggan setia di warnet dan banyak waktu ku habiskan disana. Banyak hal yang ku alami dalam menjadi anak warnet ini. Misalnya di sebuah warnet yang menyediakan jasa paket malam dan tanpa aturan membuka situs apapun. Banyak kejadian yang jika ku ingat adalah hal yang seharusnya menjadi perhatian para orangtua.

Berulang kali kutemukan, anak-anak kecil sekitar kelas 1 hingga 4 SD di warnet membuka situs-situs porno. Bahkan mereka mengetahui alamat dan cara membukanya dari mas-mas yang juga membuka situs itu. Sungguh miris rasanya jika diingat saat ini. Mengapa aku yang dulu hanya memilih untuk tak ambil pusing dan fokus kepada game yang ku mainkan? Kenapa ketika itu aku bersikap tak acuh, bukannya mengingatkan mereka?  

Sungguh masalah pornografi ini bukanlah hal yang remeh-temeh. Ini adalah masalah umat yang harus diperhatikan para orangtua. Karena itu semua itu tidak hanya merusak moral seorang anak, bahkan menurut bunda Elly Risman dapat menghancurkan lima bagian otak. Dan hebatnya masalah ini, setiap anak-anak memiliki kesempatan besar untuk mengkonsumsi gambar-gambar haram itu dengan gadget dan internet yang dengan mudah mereka akses.

Dua contoh diatas sudah menjadi gambaran betapa mengerikannya dunia anak muda masa kini. Dan diluar itu semua entah sudah berapa banyak teman-temanku yang berbangga telah melakukan hubungan badan dengan pacarnya. Entah sudah berapa banyak teman-teman yang berhenti sekolah karena mereka hamil diluar nikah. Entah sudah berapa banyak teman-temanku yang dalam depresinya meminum anggur atau menghisap ganja. Entah sudah berapa banyak teman-temanku yang direhabilitasi karena masalah narkoba, bahkan ada yang tertangkap karena menjadi bandar narkoba. Entah sudah berapa banyak kesia-sia’an dan kehancuran pemuda yang ku lihat disekitaran diriku selama hidup.

Aku mengingatnya, aku mengenangnya. Banyak diantaranya yang dulu sangat dekat. Bermain dan tertawa bersama. Namun kini mereka menjadi korban atas kebringasan dan kerasnya kehidupan jahiliyyah modern.

Dan ini semua bukanlah sebuah dongeng, ini bukanlah cerita fiktif di negeri antah berantah. Ini adalah kehidupan pemuda masa kini kita jalani. Dunia yang ku lihat dan aku berada disana, yang mungkin kalian juga menemukan hal yang lebih mengerikan dari pada ini semua.

Maka inilah masalah pemuda masa kini. Inilah penyakit yang mengidap hingga kejantung kehidupan para generasi penerus. Apakah engkau juga melihatnya?

(Bersambung)

Senin, 22 Agustus 2016

Pagi

Lihatlah keluar dan tataplah pepohonan
Ditemani desauan angin yang membelai lembut daunnya
Ia menari gemulai, rantingnya seakan melambai mesra
Menggoda untuk tidak memalingkan pandangan dari pesonanya

Lalu pejamkan matamu, dan rasakanlah
Burung-burung yang berkicauan merdu dengan ceria
Bersaut-sautan dengan sekali-kali mengibaskan sayap
Yang tiada malu menampilkan harmoni beragam nada

Dalam hembusan nafas yang kian melambat
Tenggelamkanlah dirimu dengan bisikan kata penuh do'a
Khusyuk'an hati dalam syukur dan ketundukan
Dan gamitlah pagi dengan semangat tak terkira.

#MelangkahMenginspirasi

Selasa, 02 Agustus 2016

Tuhan, Seperti Inikah Cinta? ~ (Part 1)

Siang ini hari begitu panas. Teriknya mentari seakan-akan mencubit-cubit kulitku. Perih, sangat menyengat. Sebagian diriku berusaha mencari kesejukkan dengan mengipas-ngipaskan diri dengan buku yang ku bawa. Dan sebagian lainnya menyesal, mengapa hari ini aku memilih polo berlengan pendek, bukan kemeja panjang.

Di tempat duduk di koridor gedung perkuliahan, aku terduduk sambil meminum teh kemasan botol dingin yang baru saja ku beli. Sejuk, lumayan untuk mengobati panas yang memeluk diri.

“Ketua.... Ketua...” Dari sebelah kiri terdengar suara seorang lelaki memanggilku. Dan dengan sekejap kepala ini juga menengok ke arahnya.

“Wah ketemu sama ketua disini, lapor ketua, anggota udah lengkap ketua. Yang daftar udah pas. Bagusnya dalam waktu dekat kita lakukan rapat.” Rupanya itu suara Bima, sekretaris  dalam project event sosial yang sedang aku jalani.

“Wah bagus, berapa jumlah panitianya?” Tanya ku singkat.

“Nambah lima belas orang. Jadi anggota kita sudah dua puluh tujuh orang ketua. Oh iya, kira-kira kapan kita bisa rapat? Besok? Lusa?”

“Lusa InsyaAllah, jam 16.30 ya di taman depan fakultas Ilmu Budaya. Bisa kamu kasih infonya ke anggota baru dan temen-temen lainnya?”

“Wah pas ketua, siap laksanakan”

Aku tersenyum dan mengangkat jempol tanda apresiasi dengan semangatnya. Bima sosok yang tak pernah hilang semangat dalam dirinya. Walau kadang suka panik dalam beberapa hal, ia adalah seorang yang cekatan dan rapi dalam administrasi, sangat cocok dengan jurusannya di Akuntansi. Berbeda dengan ku yang agak kurang rapi dalam arsip mengarsipkan.

“Oh iya ketua, ada anak MIPA yang badai.”

“Heh? Maksudnya Bim?”

“Namanya Bella, katanya dari Bandung. Wiiih putih, cantik, mulus, bohay, fashionable, rambutnya panjang. Pokoknya badai deh. Ketua pasti tertarik ngeliatnya”

“Hadeeh, udah jadi presenter infotainmet kamu sekarang Bim?”

“Ya kali ketua tertarik, kalo kagak aku yang samber nih.”

“Samber, samber, emang listrik apa. Yaudah sampai ketemu lusa ya, tolong juga kasih tau siapa yang konfirmasi izin. Oke?”

“Oke sip ketua, aku ke jurusan dulu ya.”

Aku mengangkat tangan kanan ku dan tersenyum. Kini Bima berjalan dengan langkahnya yang terlihat ceria. Cukup cepat hingga dirinya menghilang. Sedangkan aku tetap terduduk disini, dengan hikmat meminum teh dingin berkemasan botol  dengan sesekali mengusap muka yang sudah banyak mengelurakan keringat.

Aku mendongak ke atas, dan melihat sekeliling. Banyak mahasiswa – mahasiswi yang bercengkrama. Di ujung sana ada sekelompok mahasiswi, bersenda gurau. Sepertinya pembicaraannya menarik, hingga dari kejauhan saja, sangat terlihat bahwa mereka bahagia dengan pembicaraannya. Apakah dia membicarakan ketampanan lelaki seperti Bima yang membicarakan kecantikan wanita?

Huft, cantik? Ganteng? Entah dari mana standarisasi tentang kedua hal ini ada. Apakah putih dan mulus seperti yang diucapkan Bima dan berbagai iklan kosmetik di televisi? Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak putih dan mulus. Padahal putih dan mulus itu adalah stereotip yang dipaksakan penjaja kosmetik kepada manusia Indonesia agar terpengaruh dan membeli jualannya.

Karena kebanyakan wanita Indonesia berkulit kuning langsat, sawo matang, coklat dan lain-lain. Makanya penjual kosmetik Indonesia membuat definisi cantik itu ya putih. Karena jika cantik itu kuning langsat udah banyak di Indonesia dan dagangannya gak akan laku. Itulah mengapa, artis-artis dan bintang iklan kosmetik banyak yang putih. Agar para lelaki tersihir agar mengatakan yang putih seperti itu yang cantik. Dan para wanita juga terpengaruh agar menjadi putih mulus seperti bintang iklan tersebut agar terlihat cantik dimata lelaki.

Dan seketika aku teringat Agnes Monika. Dia cantik dalam definisi orang Indonesia (lebih tepatnya penjual kosmetik Indonesia). Agnes adalah wanita yang berkulit putih, mulus dan cantik. Namun lihat ketika dia memutuskan go internasional. Kulitnya yang putih ia ubah menjadi coklat. Mengapa? Ya karena wanita berkulit putih di Amerika adalah hal yang lumrah. Dan jika mereka (penjual kosmetik) mengkampanyekan cantik itu putih, ya tidak laku barang dagangan mereka. Oleh karena itu penjual kosmetik mempropaganda warga Amerika, cantik itu coklat seperti halnya Beyonce, Rihana dan lainya. Itulah salah satu alasan mengapa kulit Agnes Monika coklat di penampilan internasionalnya.

Menarik bukan? Cantik definisi ini untuk keuntungan ekonomi beberapa pihak dan tentunya sangat tak adil. Semoga aku berusaha agar tak termakan propaganda ini.
Dalam lamunan panjangku, aku tersentak mengingat bahwa ada jadwal kuliah dalam waktu dekat. Ku lihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan 13.36. Terlambat enam menit,  saatnya masuk kelas kembali.
                                                                        ***

Rapat sudah di mulai 15 menit yang lalu. Kini Kirana, koordinator bidang acara sedang menjelaskan gambaran projek sosial yang akan kita laksanakan ke teman-teman yang sedang bergabung. Aku yang juga pemimpin rapat saat ini dalam posisi memperhatikan.

“Ya sampai disini ada tanggapan dan pertanyaan?” Tanya kirana

“Aku kak?” seorang mahasiswa mengangkat tangan.

“Ya silahkan” Aku mengizinkan.

“Wah bagus kak, kalo gitu acara yang kita buat seharusnya pasca event ada lagi follow up-nya. Biar impact nya lebih besar dan suistainable.” Mahasiswa itu memberikan tanggapannya.

“Ketua aja yang jawab” Minta kirana kepada aku.

“Nah bener teman-teman, event ini hanya sebagai langkah awal. Abis ini kita akan buat sebuah gerakan yang terprogram dengan baik. Agar potensi-potensi yang telah dijelaskan kirana tadi bisa kita kembangkan secara maksimal. Oleh karena itu tingkat kesuksesan event ini, mempengaruhi langkah kita kedepannya.” Jelas ku.

Rapat berjalan sangat baik, beberapa anggota baru itu cukup kritis dan memberikan masukkan yang baik. Hingga sepuluh menit kemudian Bima yang berada di sampingku berbisik kepadaku.

“Ketua, itu yang namanya Bella baru dateng.”

Mata ku tertuju kepada tiga mahasiswa yang sedang berjalan menuju forum rapat. Aku melihat sekilas, tak begitu memperhatikan. Lalu kembali fokus kepada penjelasan ide seorang mahasiswi yang juga anggota baru.

“Assalamu’alaikum” Ucap salah seorang mahasiswa yang tadi berbarengan langkah dengan Bella.

“Wa’alaikumsalam” beberapa peserta rapat menjawab.

“Gimana ketua? Badai kan?” Bima berbisik, pelan.

Kali ini aku tak begitu mendengar suara Bima. Tanpa aba-aba yang ia ucapkan perhatianku sudah sepenuhnya teralihkan. Tertuju kepada salah seorang dari tiga orang yang baru saja datang. Bukan, bukan kepada Bella yang dengan rambut panjang tergerai, kemeja dan jeans yang cukup ketat. Dan tentunya dempul muka yang terlihat ia sangat lihai dalam berdandan. Sungguh bukan kepada dia yang mungkin bisa menarik perhatian yang lain.

Mata ini sungguh telah terfokuskan kepada seseorang yang membersamainya, gadis berkaca mata yang menggunakan jilbab hijau terulur panjangg hingga menyentuh bagian pinggangnya. Cardigan hijau lumut yang ia padukan dengan gamis hijau entah bagaimana serasi dimataku. Teduh, bagai melihat pepohonan rimbun dalam savana yang luas di tengah hari yang terik.

Nafas ku tertahan, jantungku berdegub kencang. Dia dengan sempurna  membuat aku merasakan ke anehan yang ku rasa belum pernah terjadi sepanjang hidupku dalam 15 detik terakhir.

“yee.. Jangan di liat mulu Bella-nya. Fokus ketua.” Bima menyadarkanku dengan sikutnya yang mengenai perut ku bagian samping.

“Siapa si yang ngeliatin Bella. Udah-udah ah bahas ceweknya. Orang lagi rapat tu fokus Bim.”

Aku coba kembali memfokuskan diri dalam suasana rapat. Kirana masih menjelaskan beberapa hal. Sebagian peserta rapat sesekali mengangguk-angguk, termasuk dia. Ya dia, entah bagaimana dia terasa berbeda. Aura macam apa yang terpancar darinya. Dan mata itu, mata sendu itu bagaimana bisa mengambil alih perhatianku? Dan bagaimana bisa juga ketukan jantung ini menjadi tak beraturan dan begitu cepat.

Oh Tuhan, mengapa juga terlalu banyak pertanyaan? Seperti inikah cinta?

(Bersambung) 


gambar