Selasa, 02 Agustus 2016

Tuhan, Seperti Inikah Cinta? ~ (Part 1)

Siang ini hari begitu panas. Teriknya mentari seakan-akan mencubit-cubit kulitku. Perih, sangat menyengat. Sebagian diriku berusaha mencari kesejukkan dengan mengipas-ngipaskan diri dengan buku yang ku bawa. Dan sebagian lainnya menyesal, mengapa hari ini aku memilih polo berlengan pendek, bukan kemeja panjang.

Di tempat duduk di koridor gedung perkuliahan, aku terduduk sambil meminum teh kemasan botol dingin yang baru saja ku beli. Sejuk, lumayan untuk mengobati panas yang memeluk diri.

“Ketua.... Ketua...” Dari sebelah kiri terdengar suara seorang lelaki memanggilku. Dan dengan sekejap kepala ini juga menengok ke arahnya.

“Wah ketemu sama ketua disini, lapor ketua, anggota udah lengkap ketua. Yang daftar udah pas. Bagusnya dalam waktu dekat kita lakukan rapat.” Rupanya itu suara Bima, sekretaris  dalam project event sosial yang sedang aku jalani.

“Wah bagus, berapa jumlah panitianya?” Tanya ku singkat.

“Nambah lima belas orang. Jadi anggota kita sudah dua puluh tujuh orang ketua. Oh iya, kira-kira kapan kita bisa rapat? Besok? Lusa?”

“Lusa InsyaAllah, jam 16.30 ya di taman depan fakultas Ilmu Budaya. Bisa kamu kasih infonya ke anggota baru dan temen-temen lainnya?”

“Wah pas ketua, siap laksanakan”

Aku tersenyum dan mengangkat jempol tanda apresiasi dengan semangatnya. Bima sosok yang tak pernah hilang semangat dalam dirinya. Walau kadang suka panik dalam beberapa hal, ia adalah seorang yang cekatan dan rapi dalam administrasi, sangat cocok dengan jurusannya di Akuntansi. Berbeda dengan ku yang agak kurang rapi dalam arsip mengarsipkan.

“Oh iya ketua, ada anak MIPA yang badai.”

“Heh? Maksudnya Bim?”

“Namanya Bella, katanya dari Bandung. Wiiih putih, cantik, mulus, bohay, fashionable, rambutnya panjang. Pokoknya badai deh. Ketua pasti tertarik ngeliatnya”

“Hadeeh, udah jadi presenter infotainmet kamu sekarang Bim?”

“Ya kali ketua tertarik, kalo kagak aku yang samber nih.”

“Samber, samber, emang listrik apa. Yaudah sampai ketemu lusa ya, tolong juga kasih tau siapa yang konfirmasi izin. Oke?”

“Oke sip ketua, aku ke jurusan dulu ya.”

Aku mengangkat tangan kanan ku dan tersenyum. Kini Bima berjalan dengan langkahnya yang terlihat ceria. Cukup cepat hingga dirinya menghilang. Sedangkan aku tetap terduduk disini, dengan hikmat meminum teh dingin berkemasan botol  dengan sesekali mengusap muka yang sudah banyak mengelurakan keringat.

Aku mendongak ke atas, dan melihat sekeliling. Banyak mahasiswa – mahasiswi yang bercengkrama. Di ujung sana ada sekelompok mahasiswi, bersenda gurau. Sepertinya pembicaraannya menarik, hingga dari kejauhan saja, sangat terlihat bahwa mereka bahagia dengan pembicaraannya. Apakah dia membicarakan ketampanan lelaki seperti Bima yang membicarakan kecantikan wanita?

Huft, cantik? Ganteng? Entah dari mana standarisasi tentang kedua hal ini ada. Apakah putih dan mulus seperti yang diucapkan Bima dan berbagai iklan kosmetik di televisi? Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak putih dan mulus. Padahal putih dan mulus itu adalah stereotip yang dipaksakan penjaja kosmetik kepada manusia Indonesia agar terpengaruh dan membeli jualannya.

Karena kebanyakan wanita Indonesia berkulit kuning langsat, sawo matang, coklat dan lain-lain. Makanya penjual kosmetik Indonesia membuat definisi cantik itu ya putih. Karena jika cantik itu kuning langsat udah banyak di Indonesia dan dagangannya gak akan laku. Itulah mengapa, artis-artis dan bintang iklan kosmetik banyak yang putih. Agar para lelaki tersihir agar mengatakan yang putih seperti itu yang cantik. Dan para wanita juga terpengaruh agar menjadi putih mulus seperti bintang iklan tersebut agar terlihat cantik dimata lelaki.

Dan seketika aku teringat Agnes Monika. Dia cantik dalam definisi orang Indonesia (lebih tepatnya penjual kosmetik Indonesia). Agnes adalah wanita yang berkulit putih, mulus dan cantik. Namun lihat ketika dia memutuskan go internasional. Kulitnya yang putih ia ubah menjadi coklat. Mengapa? Ya karena wanita berkulit putih di Amerika adalah hal yang lumrah. Dan jika mereka (penjual kosmetik) mengkampanyekan cantik itu putih, ya tidak laku barang dagangan mereka. Oleh karena itu penjual kosmetik mempropaganda warga Amerika, cantik itu coklat seperti halnya Beyonce, Rihana dan lainya. Itulah salah satu alasan mengapa kulit Agnes Monika coklat di penampilan internasionalnya.

Menarik bukan? Cantik definisi ini untuk keuntungan ekonomi beberapa pihak dan tentunya sangat tak adil. Semoga aku berusaha agar tak termakan propaganda ini.
Dalam lamunan panjangku, aku tersentak mengingat bahwa ada jadwal kuliah dalam waktu dekat. Ku lihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan 13.36. Terlambat enam menit,  saatnya masuk kelas kembali.
                                                                        ***

Rapat sudah di mulai 15 menit yang lalu. Kini Kirana, koordinator bidang acara sedang menjelaskan gambaran projek sosial yang akan kita laksanakan ke teman-teman yang sedang bergabung. Aku yang juga pemimpin rapat saat ini dalam posisi memperhatikan.

“Ya sampai disini ada tanggapan dan pertanyaan?” Tanya kirana

“Aku kak?” seorang mahasiswa mengangkat tangan.

“Ya silahkan” Aku mengizinkan.

“Wah bagus kak, kalo gitu acara yang kita buat seharusnya pasca event ada lagi follow up-nya. Biar impact nya lebih besar dan suistainable.” Mahasiswa itu memberikan tanggapannya.

“Ketua aja yang jawab” Minta kirana kepada aku.

“Nah bener teman-teman, event ini hanya sebagai langkah awal. Abis ini kita akan buat sebuah gerakan yang terprogram dengan baik. Agar potensi-potensi yang telah dijelaskan kirana tadi bisa kita kembangkan secara maksimal. Oleh karena itu tingkat kesuksesan event ini, mempengaruhi langkah kita kedepannya.” Jelas ku.

Rapat berjalan sangat baik, beberapa anggota baru itu cukup kritis dan memberikan masukkan yang baik. Hingga sepuluh menit kemudian Bima yang berada di sampingku berbisik kepadaku.

“Ketua, itu yang namanya Bella baru dateng.”

Mata ku tertuju kepada tiga mahasiswa yang sedang berjalan menuju forum rapat. Aku melihat sekilas, tak begitu memperhatikan. Lalu kembali fokus kepada penjelasan ide seorang mahasiswi yang juga anggota baru.

“Assalamu’alaikum” Ucap salah seorang mahasiswa yang tadi berbarengan langkah dengan Bella.

“Wa’alaikumsalam” beberapa peserta rapat menjawab.

“Gimana ketua? Badai kan?” Bima berbisik, pelan.

Kali ini aku tak begitu mendengar suara Bima. Tanpa aba-aba yang ia ucapkan perhatianku sudah sepenuhnya teralihkan. Tertuju kepada salah seorang dari tiga orang yang baru saja datang. Bukan, bukan kepada Bella yang dengan rambut panjang tergerai, kemeja dan jeans yang cukup ketat. Dan tentunya dempul muka yang terlihat ia sangat lihai dalam berdandan. Sungguh bukan kepada dia yang mungkin bisa menarik perhatian yang lain.

Mata ini sungguh telah terfokuskan kepada seseorang yang membersamainya, gadis berkaca mata yang menggunakan jilbab hijau terulur panjangg hingga menyentuh bagian pinggangnya. Cardigan hijau lumut yang ia padukan dengan gamis hijau entah bagaimana serasi dimataku. Teduh, bagai melihat pepohonan rimbun dalam savana yang luas di tengah hari yang terik.

Nafas ku tertahan, jantungku berdegub kencang. Dia dengan sempurna  membuat aku merasakan ke anehan yang ku rasa belum pernah terjadi sepanjang hidupku dalam 15 detik terakhir.

“yee.. Jangan di liat mulu Bella-nya. Fokus ketua.” Bima menyadarkanku dengan sikutnya yang mengenai perut ku bagian samping.

“Siapa si yang ngeliatin Bella. Udah-udah ah bahas ceweknya. Orang lagi rapat tu fokus Bim.”

Aku coba kembali memfokuskan diri dalam suasana rapat. Kirana masih menjelaskan beberapa hal. Sebagian peserta rapat sesekali mengangguk-angguk, termasuk dia. Ya dia, entah bagaimana dia terasa berbeda. Aura macam apa yang terpancar darinya. Dan mata itu, mata sendu itu bagaimana bisa mengambil alih perhatianku? Dan bagaimana bisa juga ketukan jantung ini menjadi tak beraturan dan begitu cepat.

Oh Tuhan, mengapa juga terlalu banyak pertanyaan? Seperti inikah cinta?

(Bersambung) 


gambar

2 komentar:

  1. cerpennya kereen azmul... cuman gk tahan aja ketika awal2 nya kata 2 "mencubit-cubit" nampaknya kuran pas lah,,, buat lagi diawalnya lebih diperkuat lagi majasnya azmul jadi sipembaca dibuat berkhayal dan merasakan apa yang sedang azmul rasakan, kayak buku api tauhid yang bab 1, seakan2 kita merasakan kali apa yang tokoh rasakan... yang buat gregetnya ketika mulai rapatnya,, si gadis pakai kaca mata yang berbaju hijau kalau bisa dirinciin lagi sedikit jadi pembaca jadi terbuai... Tapi semuanya mantep azmul ditunggu kapan terbitnya nih...hehehe

    BalasHapus
  2. tapi yang komen belumm tentu ahli juga...
    Semangat buat karya nya terus...

    BalasHapus