Sabtu, 25 Februari 2017

Di balik kata Slow

Tahun 2009, saat bbrp bulan lagi UN akan berjalan, aku yg saat itu masih kelas 3 SMP 215 jkt, diberi masukan oleh ibu. "Ji, kamu nanti masuk SMK aja. Biar nanti pas lulus bisa langsung kerja, ayah ibu ga punya uang utk kuliah." Mendengar itu aku hanya tersenyum, lalu berucap. "Slow aja bu"

Waktu berjalan, Allah punya skenario lain, walau pada awalnya aku mendaftar SMK, tapi di detik2 akhir, aku malah d terima di SMA 101 Jkt. Walau aku berada di SMA, pesan Ibu tetap sama, lulus langsung kerja saja. Ga ada biaya untuk kamu kuliah.

Aku paham, bagaimana bisa untuk membiayai kuliah yang tinggi, utk SPP SMA saja yg cukup murah jika d banding SMA negri lainnya, tetap terasa mahal. Aku harus mencovernya dengan beasiswa yg kudapat dr salah satu bank BUMN dan bantuan sekolah. Jadi aku hnya brkata "slow aja bu, liat aja nanti." Aku berusaha menenangkan ibu. Namun dibalik kata slow, aku berjuang. Mempelajari soal snmptn otodidak tanpa bimbel, karena biaya bimbel bgtu mahal. Juga mencari link beasiswa. Dan cara lainnya.

Dan ternyata, kembali skenario Allah begitu indah, aku diterima menjadi mahasiswa FE Univ.Andalas dgn beasiswa bidikmisi. Bantuan hidup 600rb/bulan ku usahakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan akademik.

Aku tak ingin meminta ortu, aku harus mandiri. Ayah memang bbrp kali memberikan uang, tapi itu hanya bbrp kali itupun jumlahnya tak banyak. Kekurangan uang kadang kututupi dgn tip hasil mengisi training motivasi atau juri. Semua berjalan lancar hingga akhirnya aku memiliki penghasilan tetap bbrp tahun terakhir disini.

Takdir Allah amat baik, sbg mahasiswa, aku diberikan kesempatan oleh-Nya berprestasi, juga memimpin kegiatan2 mahasiswa, bicara di forum2 nasional, hingga mewakili kampus dan provinsi.

Perjuangan ini tak seberapa memang, namun ketahuilah jika Allah bkhendak,maka tak ad yg tak mungkin.

Utk kedua orangtua ku, walau tak datang karena ibu harus dirawat inap d RSUD jakbar dan ayah menjaganya. Aku ingin bilang,
Aku persembahkan ini untuk kalian Ayah Ibu ku.

Azmul Pawzi,SE
Bintang Aktivis Kampus Unand 2017
Penulis Buku "Sewindu Menata Rindu"

#MelangkahMenginspirasi

Kamis, 23 Februari 2017

Senja di Kampus, Saatnya Gantung Almamater


4 tahun 4 bulan menjalani studi di Unand. Tak terasa almamater ini menemani banyak cerita di kampus. Ia menjadi salah satu saksi perjuangan.Bermula dari bakti (ospek), hingga mengikuti berbagai kegiatan.

Ia pernah di pakai mengikuti banyak aksi, memimpin (korlap) demostrasi, orasi di depan mahasiswa sumbar di dprd, juga orasi di hadapan ribuan mahasiswa aksi di Bundaran HI Jakarta.

Ia mendampingi diri menjalani kepanitiaan dan kegiatan organisasi. Sambutan depan event nasional dan bicara di khalayak pemuda lainnya. Hmmm... tak terasa, lebih 50an kepanitiaan telah saya rasakan baik tingkat fakultas hingga nasional, juga belasan kepengurusan organisasi mulai dari anggota, koordinator bidang, hingga ketua.

Ia juga pernah menjadi teman menjuarai lomba debat tingkat provinsi, mewakili kontingen sumbar dan prestasi lainnya. Hingga ikut forum pemuda se Indonesia dan rapat-rapat pimpinan mahasiswa se nasional. Ah, tak terasa sudah banyak kota dan provinsi kita kunjungi bersama.

Banyak lagi sebenarnya cerita bersama almamater hijau ini ingin saya tulis, tapi takut kepanjangan. Namun yang pasti setiap cerita tentu punya endingnya. Saatnya menggantungnya. Ambil peran lain.

Masih banyak lini perjuangan yg membutuhkan aktor-aktornya. Perjuangan takkan pernah usai.
Mari tetap melangkah dan menginspirasi.

#MelangkahMenginspirasi

Tulisan ini hanya usaha menata kenangan.  

Minggu, 19 Februari 2017

Aku Tak Ingin Menangis, Terlebih Membuatmu Menangis

Apa yang dapat dibanggakan dari cinta yang tak berdaya terhadap keadaan? Dia hanya dapat diam, lalu menjauh. Hanya mampu terungkap di keheningan, atau terucap dalam kesendirian. Bahkan dalam sunyi ia tak mampu bicara. Hanya menjadi manusia pengecut yang tak mampu melawan dari tembok yang menghalang.

Walau cinta tak bersuara, tapi tetap saja ia tak pernah datang sendirian. Ia selalu hadir membawa berjuta rasa lainnya. Kabar buruknya, ia juga membawa rasa ingin memiliki. Ya, sebuah rasa yang membawa ribuan harapan, juga setumpuk angan. Bodohnya sang pecinta menikmati rasa itu, bahkan terbuai dengan bayang-bayang. Ia tak sadar bahwa dibalik indahnya rasa memiliki, ada setan menakutkan bernama kehilangan.

Kehilangan tak hanya membunuh angan, ia juga menyiksa batin dan menganiaya perasaan. Mungkin saja tubuh ini tak berlumur darah. Kulit-pun tetap mulus, tanpa ada perban yang membalut. Namun tak semua luka dapat terlihat bukan?

Lihat saja aku, engkau mungkin melihatku berwajah ceria. Senyumku memekar gembira, atau sesekali  tertawa dari kelakar yang tercipta. Tapi dapatkah kau melihatnya, hati yang telah babak belur memendam rindu. Atau memar yang tertinggal dari setiap malam sendu.

Aku menahannya, mengais ketegaran yang terlupa. Lalu meramunya menjadi senyum yang menyapa. Aku tak mau terlihat merana. Aku tak ingin menangis, terlebih membuatmu menangis. Engkau tak perlu tahu apa yang aku rasa. Engkau juga tak mesti pedulikan rindu yang menikam. Ini menyakitkan, jadi jangan engkau rasakan.

Aku tak ingin engkau bersedih karena perasaan seperti ini. Biar saja hanya aku yang begini, jangan engkau. Tetaplah seperti itu, berbahagialah dalam hidupmu. Bersuka citalah tanpa ada aku yang selalu gagu dihadapanmu.




Azmul Pawzi






Selasa, 07 Februari 2017

Cinta Tak Pernah Terlambat

Mungkin kita sudah bertemu hari ini. Saling bertatap, atau sekadar berpapasan di jalan. Mungkin kita sudah berkenalan hari ini. Berdiskusi akan suatu hal, atau hanya bertukar senyuman.

Tidak ada yang tahu sebuah perjodohan, bukan?  Bisa saja, orang yang akan menemani hidup kita nanti adalah teman semasa kecil.  Seorang yang menemani kita berlari riang, berdolan petak umpet atau bertengkar memperebutkan tempat bermain.

Bisa saja, dia yang kemudian hari tinggal seatap dengan kita adalah seorang yang mewarnai kehidupan sekolah. Yang mungkin saja saling cekcok saat tugas kelompok, saling mencuri pandangan saat guru menjelaskan atau berselisih antar geng remaja.

Atau bisa juga, kan. Orang yang menjadi jodoh kita adalah mereka yang selama ini berada di lingkar aktivitas kita. Saling debat dalam sebuah rapat, atau berkeringat dalam kepanitiaan.
Tidak ada yang tidak mungkin, bukan?

Karena siapa yang tahu tentang takdir. Kita hanya perlu menunggu kesadaran cinta itu hadir. Kadang kesadaran itu membutuhkan waktu yang singkat, kita hanya perlu menunggu hitungan hari atau bulan hingga kita menyadari cinta.

Atau kadang kita perlu waktu cukup lama. Kita kadang harus menunggu satu, belasan bahkan puluhan tahun untuk menyadari cinta. Namun itulah teka-tekinya. Itulah yang mungkin menjadi jalan hidup kita.

Cinta tak pernah datang terlambat, kan? Kita saja yang memang tak tahu kapan waktu yang tepat untuk mencinta.


Tak perlu kita terburu-buru mendefinisikan cinta. Jalani saja. Bukankah Allah selalu punya cara romantis untuk mempertemukan para hamba-Nya?