Waktu terus berlalu. Kumpulan
detik-detik itu kini mulai menjadi menit. Dan jumlah menit itu-pun semakin lama
semakin bertambah. Sedangkan aku masih duduk termangu dimeja ini. Bibirku kelu,
kaki ku membeku. Entah hawa gadis itu mulai menusuk-nusuk diri ini. Rindu yang
selama ini memelukku dengan sayapnya, kini mulai terbuka. Belati diantara sayap
yang senantiasa menikamku juga mulai menjauh.
Kini, rindu yang menyembilu itu
berganti dengan rasa gugup dan takut.
Najma, kini sudah dihadapan. Dan aku masih menjadi lelaki pengecut yang
tak bisa berbuat apa-apa. Keberanianku
luruh, aku (sampai sekarang) hanya dapat melihatnya dari jauh. Memperhatikan
senyumannya dalam keterdiaman yang tak tahu kapan ujungnya.
Cinta memang membawa kesenangan
dan kesedihan dalam setiap episodenya. Ketika tubuh ini luluh lantah karena
rindu yang tak kenal ampun merundung pilu. Kini ketakutan yang menyiksa ku.
Gigi ku gemetar, dahiku berpeluh. Tubuhku mulai memahami kondisi diri, tanganku
yang mulai becek dialiri keringat. Segumpal harapan yang sempat hadir ketika
sosoknya datang, kini berubah menjadi resah tiada tara.
Pengecut. Aku mulai berteriak tanpa suara. Apa yang dapat
dibanggakan dari cinta yang berucap saja tak berdaya. Dalam kekalutan, aku
mulai memaki diri. Sumpah serapah ku tak berujung, penyesalanku tak
terelakkkan. Sedangkan ia? Tetap tersenyum indah diselingi gelak tawa ditengah
teman-teman wanitanya.
Apakah ia merasakan yang aku
rasa? Apakah ia memikirkan apa yang kupikirkan?
“Assalamu’alaikum teman-teman
semua. Selamat malam...” Dalam renunganku, pembawa acara mulai membuka acara
formal reuni SMP ini. Aku tak peduli, sungguh. Bahkan hingga ratusan kata
terucap sang pembawa acara hingga penampilan salah seorang alumni menyanyikan
lagu dengan gitar akustiknya, aku tetap tak peduli. Aku disini bukan untuk itu,
aku disini untuk Najma.
Sepuluh menit, dua puluh menit,
hingga lima puluh menit sudah berlalu. Berbagai rangkaian acara sudah
terlaksana. Setiap penampilan dan hiburan sudah tersuguhkan. Dan aku masih
tetap disini, menatapnya (masih) dalam kejauhan.
“Teman-teman, nah kayaknya kita
butuh empat orang nih untuk nemenin
eike ambil kertas serta bacain door prize
reunian.” Pembawa acara memasuki acara selanjutnya.
“Nah, Rudi yang dari SMP sampe
sekarang masih ganteng aja. Terus Nia miss hebring, sama ustadzah kita Najma.
Juga Cakra yang bengong aja di ujung sana. Yuk mari kedepan. Yeay tepuk
tangan.”
Aku tersentak, bagai petir yang
menyambar. Mata ku langsung menyala, energi mengalir begitu saja disekujur
tubuhku. Namaku disebut bersamaan Najma untuk naik ke panggung. Ah, Mike si
cowok feminim yang jadi pembawa acara mengerti aku. atau setidaknya dia
mendengar jeritan hati ku.
Kini, Rudi sudah berada di
panggung, begitu juga Nia. Aku dengan segera menuju panggung. Dan Najma baru
saja berdiri dari bangkunya dan mulai melangkahkan kakinya. Tanpa waktu lama,
sejurus kemudian Najma sudah berada dihadapanku lebih dekat, lebih dekat lagi. Ia
semakin dekat panggung ini. Dan tantangan selanjutnya adalah, menyapa. Ah,
ternyata tak mudah menyapanya. Apa yang harus ku katakan? Apakah “hai Najma”,
atau “apa kabar Najma?”, atau “wah sudah lama tak jumpa Najma”. Arrrggghh,
ternyata tak mudah menyapanya.
“Ini Cakra? Wah apa kabar Cak?”
Dalam kebingungan ku Najma menyapaku begitu saja ketika ia sudah berada di panggung.
“Eh emm eh. Hai” Astaga, aku
gugup. Bibirku kelu, fikiranku tiba-tiba terfokuskan untuk menenangkan gemuruh
dalam dada. Bodoh, aku mulai salah tingkah.
“Baik cakra?” Dia kembali
menanyakannya kembali. Memastikan aku menjawab pertanyaannya yang sebelumnya.
“iya Najma, baik. Kamu?” Aku
mulai berusaha menguasai diriku. Berusaha menjadi lelaki dewasa dihadapannya.
Bukan lagi lelaki ingusan berseragam putih biru.
“Nah teman-teman kita udah di
depan. Jadi yuk mari kita minta teman-teman ini ambil kertas di wadah ini. Di
mulai dari si cucok Rudi. Yuk mari Rud.” Mike beraksi lagi.
Rudi mulai memasukkan tangannya
kedalam wadah berisi nama-nama teman-teman yang sudah tertulis dalam kertas.
Sedangkan aku menatap Rudi, sekedar mengalihkan pandangan sejenak menatap
Najma.
“Alhamdulillah, Aku baik kok” Ia
menjawab pelan, sedikit berbisik. Lalu menyimpulkan senyum setelahnya.
Rudi telah menyelesaikan tugasnya. Nama
dikertas itu juga sudah disebutkan. Aku tak mendengarnya, juga sorak sorai
tepuk tangan hadiah yang akan diterima. Aku hanya terbuai keindahan yang ku
rasakan kini. Berada didekatnya, melihatnya menujukan senyumannya kepadaku,
mendengar suaranya dan mata sendunya. Aiiihh, bagai pohon rimbun di padang
rerumputan kala mentari begitu terik menyinari dunia. Teduh.
Berapa menit kemudian berlalu.
Kami berempat sudah menyelesaikan tugas yang diminta Mike. Penerima Door Prize-pun juga sudah memegang
hadiahnya. Kini kami berempat mulai beringsut turun dari panggung.
“Najma, bentar dong. Bisa duduk
di situ sebentar?” Aku menunjuk dua bangku kosong di antara empat orang lain
yang sudah duduk disekitarnya.
Dia melihat sebentar, mungkin
karena tempat duduk disana juga cukup ramai dan terdapat wanita dan pria
disana, ia menyetujuinya. Kami menuju bangku itu dan terduduk rapi.
“Kamu sekarang tinggal dimana?”
Aku memulai pembicaraan. Selama dipanggung tadi aku sudah mengumpulkan
keberanianku, serta aku juga sudah bersumpah. Tidak adalagi mulut yang tak
berbicara. Tidak ada lagi kata yang tak terucap.
Diawali dengan senyum, ia
menjawab “Aku sekarang tinggal gak jauh kok dari sini. Udah setahun setengah
bahkan aku udah tinggal sekitaran sini. Sambil-sambil ngajar di TK Sinar
Bintang dua lampu merah dari sini.”
“Wah keren, jadi guru TK.” Aku
terpesona, sudah pasti jiwa keibuannya telah terpancar kuat dari dirinya.
Ditambah lagi sosok guru TK yang pandai mengelola anak-anak. Calon ibu yang baik. Gumamku dalam hati.
“Kamu kerja apa sekarang cak?”
“Aku kerja di kantor Asuransi
nih. Lumayan agak jauh sih dari sini.”
Tiba-tiba seorang wanita yang ku
kenal bernama Ria duduk disebelah kami lalu menyapa aku dan Najma. Tanpa waktu
lama ia sudah larut beberapa perbincangan dengan Najma. Aku hanya memperhatikan
mereka. Melihat cara bicara gadis bermata sendu ini yang entah bagaimana begitu
manis.
Tak lama kemudian handphone Najma
berbunyi. Ia mengangkatnya. Dan beberapa saat kemudian ia terlihat panik, dan
mulai gusar.
“Susu udah dikasih? Masih nangis
juga? Yaudah deh aku kesana sebentar lagi.” Aku mendengar sedikit
perbincangannya. Ada apa dengan susu? Menangis?
“Aduh Ria, Cakra. Aku kayaknya ga
bisa sampe abis ikut acara reuni ini. Anak ku nangis, suami aku bingung. Jadi
aku harus pulang.” Ucap Najma seketika itu.
“heh Anak? Suami? Kamu udah
nikah?” seketika keluar begitu saja pertanyaan itu. Kata-kata yang yang ku
dengar barusan hampir saja mencopot jantungku.
“Iya cak. Udah satu setengah
tahun juga. Aku pindah kesini lagi karena suami ngajak tinggal disini. Udah ya
aku pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
Gadis berjilbab itu mulai
melangkah menjauh. Punggungnya mulai semakin berjarak lalu lenyap dibalik pintu
kafe. Meninggalkan aku yang mematung. Tanpa bicara dan menatap kosong. Ria yang
sedari tadi duduk dihadapanku juga sudah pergi. Tak berselera melihat sesosok
manusia yang tak menggubris panggilannya.
Aku terhenyuk, sewindu aku menata
rindu. Ternyata sudah terlambat. Delapan tahun aku memendam cinta. Ternyata
terlewatkan begitu saja. Menyisakan aku dan sayap-sayap yang patah bagai mawar
yang terinjak tak berdaya.
Ah, beginilah cinta. Ia memiliki
ribuan kemungkinan saat pertama kali jumpa. Kitalah yang terlalu bodoh untuk
hanya menginginkan akhir yang indah.
-Tamat-