Selasa, 10 Mei 2016

Sewindu Menata Rindu ~ (Part 3 - Tamat)

Waktu terus berlalu. Kumpulan detik-detik itu kini mulai menjadi menit. Dan jumlah menit itu-pun semakin lama semakin bertambah. Sedangkan aku masih duduk termangu dimeja ini. Bibirku kelu, kaki ku membeku. Entah hawa gadis itu mulai menusuk-nusuk diri ini. Rindu yang selama ini memelukku dengan sayapnya, kini mulai terbuka. Belati diantara sayap yang senantiasa menikamku juga mulai menjauh.

Kini, rindu yang menyembilu itu berganti dengan rasa gugup dan takut.  Najma, kini sudah dihadapan. Dan aku masih menjadi lelaki pengecut yang tak bisa berbuat apa-apa.  Keberanianku luruh, aku (sampai sekarang) hanya dapat melihatnya dari jauh. Memperhatikan senyumannya dalam keterdiaman yang tak tahu kapan ujungnya.

Cinta memang membawa kesenangan dan kesedihan dalam setiap episodenya. Ketika tubuh ini luluh lantah karena rindu yang tak kenal ampun merundung pilu. Kini ketakutan yang menyiksa ku. Gigi ku gemetar, dahiku berpeluh. Tubuhku mulai memahami kondisi diri, tanganku yang mulai becek dialiri keringat. Segumpal harapan yang sempat hadir ketika sosoknya datang, kini berubah menjadi resah tiada tara.

Pengecut. Aku mulai berteriak tanpa suara. Apa yang dapat dibanggakan dari cinta yang berucap saja tak berdaya. Dalam kekalutan, aku mulai memaki diri. Sumpah serapah ku tak berujung, penyesalanku tak terelakkkan. Sedangkan ia? Tetap tersenyum indah diselingi gelak tawa ditengah teman-teman wanitanya.
Apakah ia merasakan yang aku rasa? Apakah ia memikirkan apa yang kupikirkan?

“Assalamu’alaikum teman-teman semua. Selamat malam...” Dalam renunganku, pembawa acara mulai membuka acara formal reuni SMP ini. Aku tak peduli, sungguh. Bahkan hingga ratusan kata terucap sang pembawa acara hingga penampilan salah seorang alumni menyanyikan lagu dengan gitar akustiknya, aku tetap tak peduli. Aku disini bukan untuk itu, aku disini untuk Najma.

Sepuluh menit, dua puluh menit, hingga lima puluh menit sudah berlalu. Berbagai rangkaian acara sudah terlaksana. Setiap penampilan dan hiburan sudah tersuguhkan. Dan aku masih tetap disini, menatapnya (masih) dalam kejauhan.

“Teman-teman, nah kayaknya kita butuh empat orang nih untuk nemenin eike ambil kertas serta bacain door prize reunian.” Pembawa acara memasuki acara selanjutnya.

“Nah, Rudi yang dari SMP sampe sekarang masih ganteng aja. Terus Nia miss hebring, sama ustadzah kita Najma. Juga Cakra yang bengong aja di ujung sana. Yuk mari kedepan. Yeay tepuk tangan.”

Aku tersentak, bagai petir yang menyambar. Mata ku langsung menyala, energi mengalir begitu saja disekujur tubuhku. Namaku disebut bersamaan Najma untuk naik ke panggung. Ah, Mike si cowok feminim yang jadi pembawa acara mengerti aku. atau setidaknya dia mendengar jeritan hati ku.

Kini, Rudi sudah berada di panggung, begitu juga Nia. Aku dengan segera menuju panggung. Dan Najma baru saja berdiri dari bangkunya dan mulai melangkahkan kakinya. Tanpa waktu lama, sejurus kemudian Najma sudah berada dihadapanku lebih dekat, lebih dekat lagi. Ia semakin dekat panggung ini. Dan tantangan selanjutnya adalah, menyapa. Ah, ternyata tak mudah menyapanya. Apa yang harus ku katakan? Apakah “hai Najma”, atau “apa kabar Najma?”, atau “wah sudah lama tak jumpa Najma”. Arrrggghh, ternyata tak mudah menyapanya.

“Ini Cakra? Wah apa kabar Cak?” Dalam kebingungan ku Najma menyapaku begitu saja ketika ia sudah berada di panggung.

“Eh emm eh. Hai” Astaga, aku gugup. Bibirku kelu, fikiranku tiba-tiba terfokuskan untuk menenangkan gemuruh dalam dada. Bodoh, aku mulai salah tingkah.

“Baik cakra?” Dia kembali menanyakannya kembali. Memastikan aku menjawab pertanyaannya yang sebelumnya.

“iya Najma, baik. Kamu?” Aku mulai berusaha menguasai diriku. Berusaha menjadi lelaki dewasa dihadapannya. Bukan lagi lelaki ingusan berseragam putih biru.

“Nah teman-teman kita udah di depan. Jadi yuk mari kita minta teman-teman ini ambil kertas di wadah ini. Di mulai dari si cucok Rudi. Yuk mari Rud.” Mike beraksi lagi.
Rudi mulai memasukkan tangannya kedalam wadah berisi nama-nama teman-teman yang sudah tertulis dalam kertas. Sedangkan aku menatap Rudi, sekedar mengalihkan pandangan sejenak menatap Najma.

“Alhamdulillah, Aku baik kok” Ia menjawab pelan, sedikit berbisik. Lalu menyimpulkan senyum setelahnya.

Rudi telah menyelesaikan tugasnya. Nama dikertas itu juga sudah disebutkan. Aku tak mendengarnya, juga sorak sorai tepuk tangan hadiah yang akan diterima. Aku hanya terbuai keindahan yang ku rasakan kini. Berada didekatnya, melihatnya menujukan senyumannya kepadaku, mendengar suaranya dan mata sendunya. Aiiihh, bagai pohon rimbun di padang rerumputan kala mentari begitu terik menyinari dunia. Teduh.

Berapa menit kemudian berlalu. Kami berempat sudah menyelesaikan tugas yang diminta Mike. Penerima Door Prize-pun juga sudah memegang hadiahnya. Kini kami berempat mulai beringsut turun dari panggung.

“Najma, bentar dong. Bisa duduk di situ sebentar?” Aku menunjuk dua bangku kosong di antara empat orang lain yang sudah duduk disekitarnya.

Dia melihat sebentar, mungkin karena tempat duduk disana juga cukup ramai dan terdapat wanita dan pria disana, ia menyetujuinya. Kami menuju bangku itu dan terduduk rapi.

“Kamu sekarang tinggal dimana?” Aku memulai pembicaraan. Selama dipanggung tadi aku sudah mengumpulkan keberanianku, serta aku juga sudah bersumpah. Tidak adalagi mulut yang tak berbicara. Tidak ada lagi kata yang tak terucap.

Diawali dengan senyum, ia menjawab “Aku sekarang tinggal gak jauh kok dari sini. Udah setahun setengah bahkan aku udah tinggal sekitaran sini. Sambil-sambil ngajar di TK Sinar Bintang dua lampu merah dari sini.”

“Wah keren, jadi guru TK.” Aku terpesona, sudah pasti jiwa keibuannya telah terpancar kuat dari dirinya. Ditambah lagi sosok guru TK yang pandai mengelola anak-anak. Calon ibu yang baik. Gumamku dalam hati.

“Kamu kerja apa sekarang cak?”

“Aku kerja di kantor Asuransi nih. Lumayan agak jauh sih dari sini.”

Tiba-tiba seorang wanita yang ku kenal bernama Ria duduk disebelah kami lalu menyapa aku dan Najma. Tanpa waktu lama ia sudah larut beberapa perbincangan dengan Najma. Aku hanya memperhatikan mereka. Melihat cara bicara gadis bermata sendu ini yang entah bagaimana begitu manis.

Tak lama kemudian handphone Najma berbunyi. Ia mengangkatnya. Dan beberapa saat kemudian ia terlihat panik, dan mulai gusar.

“Susu udah dikasih? Masih nangis juga? Yaudah deh aku kesana sebentar lagi.” Aku mendengar sedikit perbincangannya. Ada apa dengan susu? Menangis?

“Aduh Ria, Cakra. Aku kayaknya ga bisa sampe abis ikut acara reuni ini. Anak ku nangis, suami aku bingung. Jadi aku harus pulang.” Ucap Najma seketika itu.

“heh Anak? Suami? Kamu udah nikah?” seketika keluar begitu saja pertanyaan itu. Kata-kata yang yang ku dengar barusan hampir saja mencopot jantungku.

“Iya cak. Udah satu setengah tahun juga. Aku pindah kesini lagi karena suami ngajak tinggal disini. Udah ya aku pergi dulu. Assalamu’alaikum.”

Gadis berjilbab itu mulai melangkah menjauh. Punggungnya mulai semakin berjarak lalu lenyap dibalik pintu kafe. Meninggalkan aku yang mematung. Tanpa bicara dan menatap kosong. Ria yang sedari tadi duduk dihadapanku juga sudah pergi. Tak berselera melihat sesosok manusia yang tak menggubris panggilannya.

Aku terhenyuk, sewindu aku menata rindu. Ternyata sudah terlambat. Delapan tahun aku memendam cinta. Ternyata terlewatkan begitu saja. Menyisakan aku dan sayap-sayap yang patah bagai mawar yang terinjak tak berdaya.

Ah, beginilah cinta. Ia memiliki ribuan kemungkinan saat pertama kali jumpa. Kitalah yang terlalu bodoh untuk hanya menginginkan akhir yang indah.

-Tamat-




Senin, 02 Mei 2016

Aleppo Membara & Pemimpin Haus Darah

Jika anda ingin melihat kezhaliman modern seorang pemimpin, maka lihatlah Suriah. Seperti yang dilansir dari Liputan 6, sejak Juli 2014 hingga Februari 2016 rezim Bashar Al Assad telah membunuh 10.000 orang. Itu yang baru terdata, belum yang tidak terdata. Ditambah lagi pembantaian sebelum 2014, yang juga kurang lebih menyentuh ratusan ribu orang.

Belum puas dengan riwayat pembunuhannya. Sejak 21 April 2016 hingga sekarang, pemerintahan laknatullah memborbardir kota Aleppo yang dihuni 400 ribu orang. Tidak tanggung-tanggung, sang presiden zhalim Bashar al Assad telah melakukan 260 serangan udara, 110 artileri, 18 ruda, 68 bom di kota terbesar kedua di Suriah ini.

Yang begitu memilukan hati, mereka menyerang rumah sakit, sekolah-sekolah, pasar-pasar sentral perdagangan dan berbagai tempat warga sipil tak berdosa lainnya berada. Anak-anak terkujur kaku tak bernyawa, merah darah mewarnai pemandangan kota hingga memerahkan sungai. Ayah-ayah menangisi kepergian anaknya, dan anak-anak terkulai lemas melihat kedua orang tuanya tak bernyawa. Hingga 1 mei malam, sudah 250an warga sipil tak bersalah menjadi korbannya.

Ini kekejaman tak terperi saudara ku, ini kezhaliman tak terbayangkan wahai manusia. Kita hanya perlu menjadi manusia untuk merasakan ini, kita hanya perlu menghidupkan hati nurani.

Dan jika kita muslim butuh sebuah fatwa, maka organisasi ulama dunia sudah berfatwa Membantu segenap saudara kita di Aleppo secara khusus, dan Suriah secara umum hukumnya wajib. Atas seluruh bangsa Arab, Kaum Muslimin dan terlebih para pembuat kebijakan!” terang Sekjen Persatuan Ulama, Syeikh Dr. Ali Al-Qurodaghi. “Dan siapa saja yang mengabaikan mereka padahal mampu, dia berdosa!” tambahnya.

Yusuf Al-Qardhawi yang juga ketua ulama dunia ini mengatakan “Sangat tidak masuk akal apabila kita membiarkan saudara kita dalam keadaan lemah dan suriah yang tenggelam dalam situasi yang menyedihkan.”

Maka, mari berikan bantuan terbaik kita untuk saudara-saudara kita di Suriah melalui donasi ke
2102.0210.14951-5 
Bank Nagari
Atas Nama FKI Rabbani