Aku coba menghela nafas perlahan
sambil senantiasa memandang pintu masuk cafe. Memperhatikan setiap orang yang lalu lalang. Melihat setiap wajah
pengunjung dan menyaksikan setiap inci pergerakan pintu baik itu terbuka maupun
tertutup.
Mulut ini
diam, tak bersuara. Hanya jemari yang senantiasa memainkan sedotan jus yang
sedari tadi tak terminum. Sudah dua
puluh menit berlalu, dan mata ku berulang kali hanya tertuju jam tangan dan
pintu cafe. Walau sekali-kali menyimpulkan senyum ke teman-teman sekitar yang
sibuk berbincang ria.
Sekelilingku
dipenuhi akan nostalgia mereka. Ada yang bersemangat bercerita kehidupan pasca
masa putih biru, ada yang menyampaikan kesibukan mereka baik pekerjaan atau
skripsi yang tak kunjung kelar. Ada juga yang tak henti berkelakar ditemani meraka yang menjadi pendengar setia dengan
sekali-kali menyumbangkan tawa. Walau dibeberapa titik ada pula mereka yang
canggung-canggung, mencari celah untuk sekedar berkata “hai” kepada sang mantan.
Mereka bersuka ria, larut dengan cerita-cerita menarik dalam reuni angkatan
sekolah menengah pertama kami hari ini.
Sedangkan
aku? Ah, aku hanya lelaki penyendiri yang lebih memilih untuk diam. Hanya sibuk
akan memori masa lalu. Menggali berbagai cerita yang pernah singgah. Memutar
ulang kisah kami berdua. Maksudku cerita dua manusia—karena memang kita tak memiliki cerita berdua secara
spesial. Merenung dan menunggu seseorang yang sekian lama ingin ku
tatap.
Seseorang
yang namanya terpampang dalam list kehadiran yang di umumkan oleh panitia beberapa hari lalu, dan menjadi
alasan mengapa aku ada ditempat ini sekarang. Sosok yang mengenalkan ku akan
sesuatu yang selama ini sulit kurasakan. Karena ia telah merenggutnya secara
penuh, habis tak tersisa. Hingga tak bisa ku curahkan rasa yang serupa ke lain
wanita.
Ya, jika di dunia ini ada yang namanya cinta
pertama, maka aku merasakannya, bahkan hingga sekarang.
Bukankah kata banyak orang cinta pertama tak pernah hilang? Ah, itu tak
penting. Sekarang penantianku akan terbayar.
Aku tak sabar menunggu, karena manusia
mana yang senang dalam menunggu? Cinta memang seperti itu, dengan segala keindahannya Tuhan juga menanamkan
perihnya rindu didalamnya. Maka setelah pengumuman kelulusan SMP terpampang, jadilah itu
menjadi lembaran awal ceritaku menjadi pemuda yang tersiksa dalam pengelolaan rindu selama 8
tahun. Benar kata orang, love is sweet torment. Namun kini, rindu itu akan terbayar. Dan aku tak akan menghilangkan kesempatan
ini.
Adalah
Najma, gadis lembut yang telah mengambil seluruh perhatianku kepadanya. Sesuai
namanya, ia menjadi bintang yang menghiasi kelam malamku. Menjadi cahaya yang
menyinari kesendirian diriku. Dan yang terindah. Mata sendunya, membuat indra
ku tak pernah alfa dari semua tentangnya.
Dan itu semua
berawal sejak saat itu. Sejak gadis berjilbab yang terbiasa duduk di sudut
kelas dengan bukunya, dengan tiba-tiba ditarik beberapa siswi menuju depan
kelas. Kala itu ia terkejut, wajahnya bingung mengapa teman-temannya membawanya
ke depan kelas.
Dan
tiba-tiba kelas itu hening, tak bersuara. Kala seorang kakak kelas muncul dibalik
pintu yang baru saja terbuka. Lelaki itu hadir dengan senyum di wajahnya. Langkahnya
mantap ditemani sekuntum bunga di tangan kanannya. Kelas-pun menjadi semakin
hening, hanya langkah kaki lelaki itu saja yang terdengar. Aku pun ikut terdiam,
memandang tak acuh dari bangku paling belakang.
“Najma,
sebenernya, aku udah lama memperhatikan kamu.” Lelaki itu memulai kata-katanya.
“Sifat mu yang lembut, wajahmu yang cantik dan kebaikan dirimu, telah membuatku
jatuh cinta kepadamu.”
Najma
terdiam, kelas terdiam. Semua siswa dan siswi mendengar setiap kata-kata yang
disampaikan lelaki itu. Hanya beberapa siswi yang tersenyum genit merasa
tersentuh. Mungkin dalam hatinya berkata “kenapa bukan aku aja sih kak?”.
“Aku
gak mau panjang-panjang bicara.” Kakak itu melanjutkan. “Jadi aku langsung saja.
Kamu mau ngga jadi pacar aku?”
Sepersekian
detik dari kata-kata lelaki itu, semua orang dikelas mulai berteriak. “Terima,
terima, terima.” Beberapa siswa sambil menepuk tangannya agar suasana kelas
makin meriah. Beberapa siswi berinisiatif membisikkan najma untuk menerimanya.
Najma
masih terdiam, lelaki itu masih tersenyum dengan bunga mawar yang ia pegang. Dan
aku, masih merasa cuek atas pertunjukan “penembakan” di depan kelas. Bagaimana
tidak, Lelaki yang menembak Najma adalah lelaki yang terkenal ganteng seantero
sekolah, motornya juga bagus. Ia juga atlit basket yang mumpuni. Makanya ia menjadi
idaman banyak siswi karena pesonanya.
Maka
aku hampir tak ambil pikir apa jawaban Najma. Karena track record kakak kelas itu tak pernah ditolak oleh siswi-siswi. Dan dari gestur sang kakak kelas, ia merasa
akan diterima dengan gadis yang baru saja ia tembak ini.
Suasana
makin ramai, sedangkan Najma masih terdiam. Kali ini iya menunduk. Mendengar
teriakan teman-teman sekelas untuk menerima tawaran kakak kelas ganteng
tersebut tak membuatnya bicara.
“Gimana Najma?” Lelaki itu kembali bertanya, memastikan jawaban.
Setelah
sekian detik, Najma mengangkat kepala. Seantero kelas terkejut. Aku-pun juga
terkejut menatap matanya. (Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar