Kamis, 14 April 2016

Sewindu Menata Rindu ~ (Part 2)

                
Matanya Sembab, wajahnya memerah. Air mata mulai mengalir membasahi pipinya. Dia menangis. Ya, dia menangis, dan seluruh orang terkejut, termasuk aku. Kakak kelas itu mulai memasang wajah bingung. Terharu kah dia? Tidak, wajahnya tak menggambarkan itu. Dan semua orang-pun mulai bingung akan respon Najma atas pernyataan cinta ini.

“Lu kenapa ma?” seorang siswi bertanya.

Najma bergeming, ia masih berusaha menata tangisnya. Dengan sesenggukan Najma berulang kali mengusap air mata dari wajahnya. Lelaki itu maju, mengangkat tangannya. Ingin ikut mengusap air mata di pipi si gadis bermata sendu itu. Najma beringsut mundur. Gesturnya menunjukkan ia tak mau disentuh.

“Kamu kenapa Najma?” Kini kakak kelas itu bertanya pelan, menatapnya lamat-lamat.

“Lu kenapa si? Jawab ngapa, jangan diem-diem mulu.” Gadis yang sedari tadi senyum dengan genit sekarang mulai memasang wajah jutek.

Kini seisi kelas menanti pernyataan sikap Najma. Ungkapan cinta dan respon Najma semakin membuat hati setiap insan di kelas bertanya-tanya. Apa yang akan di ucapkan Najma?

“Aku.....” Najma mulai membuka mulutnya. “Aku nggak mau pacaran dan nggak akan pacaran.”

Gadis berjilbab itu berlari menerobos lingkaran manusia yang mengerumuninya menuju bangku tempat ia duduk sebelumnya. Ia terduduk dan menutup wajahnya. Sikapnya itu diikuti dengan teriakan kecewa “para penonton” prosesi penembakan. Beberapa suara sumbang dari kerumunan orang terdengar, seperti “sok jual mahal banget sih lo” atau “ih kampung banget” dan berbagai perkataan lainnya. Sedangkan kakak kelas itu tersenyum, lalu meninggalkan kelas dengan santai. Entah apa yang ia rasa, rekor tak pernah ditolaknya runtuh. Kini gadis bermata sendu itu telah menolaknya.

Ditengah pandangan sinis beberapa orang dikelas. Aku terpaku dengan kejadian yang baru saja ku lihat. Kini mataku mulai menatap gadis itu. Melihat dirinya yang telah menangkup  kepalanya di meja yang berada dihadapannya. Dan tanpa ku sadar dalam tatapan itu ada simpati yang hadir,  ada rasa kagum yang menyelinap, dan ada benih-benih rasa yang hadir tak ku pahami.

Maka kejadian itu menjadi awal ini semua. Awal dari cinta yang menggelora, dan rindu yang menyembilu. Dan perasaan itu semakin meningkat saat beberapa minggu kemudian, seorang guru merombak tempat duduk kelas kami khusus satu hari. Entah takdir seperti apa hingga kita bertemu menjadi teman sebangku.

Aku canggung, begitu juga dia. Maka jadilah kami sepasang manusia pemalu yang menjadikan diam sebagai bahasa pertemuan pertama. Sampai akhirnya aku mencoba memecah sunyi. Dengan bertanya beberapa hal.

“Najma?”

“Ya?”

“Ada satu hal yang aku penasaran sama kamu. boleh nanya ngga?”

“Boleh-boleh aja kok.”

“Kamu kenapa nangis waktu itu? Waktu kamu di tembak kakak keren itu?”

Najma terdiam. Dan aku menjadi salah tingkah menghadapi kesunyian ini.

“Eh, kalo kamu nggak nyaman, nggak usah dijawab juga gapapa” ucapku.

Najma kini tersenyum. Lalu beberapa saat kemudian dia mulai menjawab lagi.

“Aku nggak mau pacaran dulu cakra.”

“Kenapa?”

“Aku udah berprinsip akan hal itu. Tuhan nggak suka perbuatan itu. Dan aku juga nggak mau kayak cewek-cewek biasa cak. Dan aku akan mencoba mempertahankan itu.”

Najma mengakhiri kata-katanya dengan simpul senyum di bibirnya. Kali ini senyumnya lebih menawan dari sebelumnya. Aku bahkan sampai lupa bernafas sesaat memandang wajah serta mendengar jawabannya. Wanita berprinsip memang selalu mempesona.

Kami-pun melanjutkan hari itu dengan berbagai perbincangan. Hingga aku mengetahui banyak hal tentangnya. Bahwa ia adalah anak sulung dari 5 bersaudara, juga kehidupan ekonomi yang sulit ia alami. Aku menikmati kebersamaan hari itu. Karena itu adalah pembicaraan terakhir aku dan dia yang cukup lama.

Sejak saat itu, kami tak pernah berbincang lama akan suatu hal. Karena memang dia yang selalu bersama teman wanitanya dan aku lelaki pemalu yang tak pandai memulai perbincangan. Terlebih ketika kenaikan kelas memisahkan kita di kelas yang berbeda. Berbincang dengannya adalah hal yang sangat sulit. Bahkan lebih sulit dari menuliskan sebuah puisi atau menghafal bahasa latin pelajaran biologi, kedua hal yang juga dia sukai—itu juga aku ketahui dari orang lain.

Semuanya berlanjut hingga kelulusan tiba, dan aku mendengar kabar bahwa dia memilih untuk meninggalkan kota. “Keluarga kami harus meninggalkan kota, di desa lebih tenang.” Begitu ucapnya, walau aku tahu, bahwa ayahnya bangkrut dalam dagang hingga membuat mereka harus kembali kedesa.

Kami berpisah, tanpa salam apalagi pertemuan terakhir. Ia pergi begitu saja, tanpa alamat atau nomor yang dapat aku hubungi. Dia hilang, dan membawa seluruh rasa ini bersamanya. Beberapa cara aku coba untuk sekedar mencari informasi tentangnya. Tempatnya tinggal, sosial media, bahkan nomor telepon genggam-pun tak ada. Semua nihil. Hingga akhirnya aku terhenyak, cinta macam apa yang tak berdaya dengan sebuah kata perpisahan.

Delapan tahun lamanya aku mencari, sewindu lamanya aku menata rindu. Dan kini Tuhan menjawab do’a-do’a ku. Dia hadir dalam bentuk daftar kehadiran alumni angkatan sekolah menengah pertama. Disebuah acara yang aku pilih untuk tidak hadir sebelumnya. Akan tetapi ia hadir. Dan aku akan menemuinya. Disini, di acara ini.

“Eh elu ngapain si bengong aja.” Suara dari disamping ku memecahkan lamunanku. Seorang teman memukul pundak yang sebelum-sebelumnya hanya menebar lelucon ke teman-teman yang lain.

“Haha, apaan dah lu. Lanjut-lanjutlah ngelawaknya.” Aku mencairkan suasana. Dan selanjutnya aku memilih untuk lebur dalam suasana hangat teman-teman lama ini. Mulutku mulai berbicara banyak, bercerita tentang kuliah dan pekerjaanku di sebuah perusahaan asuransi.

Lima menit berlalu, pintu cafe terbuka untuk kesekian kalinya. Namun kali ini berbeda, ada sesuatu yang istimewa. Sesosok gadis berjilbab biru dengan campuran warna gamis berwarna putih kebiruan hadir di balik pintu cafe yang terbuka perlahan. Wanita itu datang, gurat wajahnya berubah, terlebih postur tubuhnya. Ia menjadi sesosok gadis yang berbeda,  akan tetapi auranya sama.

Air mukanya menggambarkan kedewasaan, langkahnya melukiskan kematangan. Ia menjadi sosok wanita yang mempesona. Ah ya matanya, masih mata sendu seperti dulu. Teduh, seperti cahaya rembulan. Ia kini berjalan menuju meja yang cukup jauh dari ku. Dan aku tetap terpaku di sini, di bangku dan meja ini tanpa bersuara dan berkedip. Pernahkah kau merasakan mulutmu kelu, nafasmu terhenti sejenak dan jantungmu berdegup kencang? Maka itu yang ku rasakan kini.

Dari kejauhan ia tersenyum. Bukan. Senyum itu bukan untuk ku, tapi untuk teman-teman wanita lain. Lalu dia melambai, juga bukan untukku, Namun untuk teman lain di ujung sana. Ah aku lupa, bukankah dari dulu seperti itu, aku adalah manusia tak tampak dihadapannya. Lelaki penyendiri yang hawanya tak terasa. Bahkan sampai saat ini-pun aku tetap menjadi sosok pemalu yang bingung mencari cara untuk berbincang dengannya. (Bersambung)





8 komentar:

  1. Ini mah bukan cerpen, Fawzi.
    Cerber...
    Jadi penasaran sambungannya... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh iya ya. Jadi cerber. Sebenernya cuma mau sekali tulis abis. Tapi pas dituliskan jadi panjang. Hehe.

      insyaAllah disambungannya tamat nisa.
      Kasih masukkan dong. :D

      Hapus
    2. Masukan apa, toh?
      Ana mah masih di bawah ini...
      hihi...

      Hapus
  2. Mantap! Apalagi bg saya yg nggk bisa nulis dgn genre romance. Sampai gk ketebak cerita ini semata2 karangan atau ksh nyata. Tp kalau blh kasih saran, ciri khas tulisan 'Azmul'nya lbh ditonjolkan lg. Kalo skrng kayak lg baca tulisannya Azmul, tp juga kyk lg baca tlsan orng lain.
    Ditunggu part 3 nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah makasih masukannya wika. Iya nih lagi belajar-lajar cari pakem tulisan sendiri. Mungkin berjalan waktu ya.
      Keseringan buat puisi dan tulisan nonfiksi jadi masih nyari-nyari.

      Sip, wika.
      Kalo ada masukan lain kasih tau ya wika. ^_^

      Hapus