Seorang ustadz bertanya kepada gurunya. Sosok yang senantiasa membimbingnya dan tempat ia terbiasa mendapat nasihat. Kala itu ia meminta pandangan sang guru atas keputusan besar yang akan ia ambil.
Diskusi itu berjalan
panjang, permasalahan ini bukanlah hal kecil. Bukan hanya tentang individu,
namun merembes hingga negara dan tentunya akan menentukan gerak dakwah
kedepannya. Hingga sebuah pertanyaan hadir, pertanyaan yang jawabannya akan
menjawab semua jawaban. Guru itu bertanya :
“Suatu saat antum
mungkin akan jadi pemimpin nasional di masa yang akan datang, apa ini tidak
akan jadi masalah?”
Ustadz itu terdiam, cukup lama. Namun akhirnya dengan mantap ia
menjawab.
“Saya tahu diri saya
ustad, saya lebih tepat untuk kerja-kerja dapur ketimbang jadi pejabat publik.”
Masya Allah.
Saya mendapat banyak
pembelajaran dari cerita ini. Sebuah kisah yang menjadi bahan renungan saya
sejak pertama kali membaca kisahnya. Bukan, hal ini bukan tentang jabatan
publiknya yang menjadi sorotan. Hal ini tentang memahami diri.
Saya pengagum ustad tersebut.
Tulisan, pola fikir, cara bicara dan berbagai gestur kerap kali saya ambil
menjadi referensi dan contoh. Dan saya makin terkagum dengan jawaban yang ia
berikan. Ia memilih menjadi orang dapur dan menjalani pilihan besar dalam
hidupnya itu. Walau pilihan itu kemungkinan akan berlawanan dengan kesempatan menjadi penjabat publik yang sudah ada di depan
matanya dan banyak orang melihat ia mampu mengemban jabatan itu.
Ia memilih menjadi
orang dapur, karena ia memang menganggap jabatan tidak serta merta menambah
kontribusi. Namun jika kita memiliki kapasitas besar, maka kontribusi kita akan
gemilang walau tanpa jabatan.
Kisah ini menjadi
renungan saya, membawanya dalam kontemplasi diri. Menghadirkannya kala diri ini
menyepi.
Dalam renungan itu,
saya menghadirkan diri saya sejak pertama menjalani organisasi sejak SMP,
hingga menapaki tahun 4 kuliah ini.
Hampir setiap pilihan amanah
organisasi saya cenderung mengambil posisi orang “dapur”. Memilih mengoprasikan
organisasi, mengolah manusia, memasaknya, dan melihat mereka berkembang.
Ketika SMA, kala
teman-teman mengejar prestasi dalam dunia persilatan, saya memilih membuka
tempat latihan silat baru untuk anak-anak SMP. Walau pada akhirnya prestasi
silat saya tidak secemerlang teman-teman lainnya. Hanya menyabet perunggu di
tingkat jabodetabek dan jakarta barat. Namun mata saya berbinar cerah kala
melihat adik-adik SMP yang saya latih mendapat prestasi di tingkat daerah.
Di eksul jurnalis
siswa-pun, ketika kelas tiga dan alumni. Saya mencoba kembali kepada adik-adik
yang menjalani amanah, menemani, memberi mereka semangat dan tempat bertanya. Dan
senang kala mereka berprestasi. Begitu juga di ROHIS, menjadi ikhwan di
angkatan saya yang suka kembali ke agenda ROHIS setelah lulus.
Masa SMA berlalu, dan
kala kuliah semua tergambar jelas. Amanah Pengembangan Sumber Daya Manusia maupun
kaderisasi menempa saya untuk menjadi “orang dapur”. Memimpin bidang PSDM saat
di AMA Unand, kepala bidang kaderisasi di Lembaga Dakwah Fakultas, penanggung jawab
mentoring fakultas, sampai di BEM dan organisasi kepemudaan-pun saya pernah di amanahkan dalam
bidang sumber daya manusia.
Tidak berhenti disitu
saja, hingga saat ini berbagai amanah yang sangat berkaitan dalam “dapur”
organisasi dan gerakan serta berbagai hal yang berkaitan dengan pengembangan manusia masih saya jalani. Seperti membina ratusan mahasiwa
baru di Asrama Mahasiswa Unand serta dalam satu semester mengajar sebagai
asisten dosen.
Pada awalnya saya tak
memahami hal ini. Hingga kurang lebih satu tahun lalu membaca kisah di atas, saya mencoba
berkontemplasi, melihat apa dalam diri saya secara jernih. Dan menemukan jawaban
bahwa dalam pandangan saya, saya lebih pas menjadi "orang dapur". Mengoperasikan
dan mengolah keberlanjutan gerakan dari belakang.
Meminjam istilah sosok
yang saya mereguk banyak inspirasi juga, yaitu jadilah “Pahlawan di Jalan Sunyi”.
Karena kontribusi tak selalu dibayar dengan sorak sorai tepuk tangan dan decak
kagum. Kadang ia cemerlang dalam kesunyian. Kadang ia berkilau tanpa ada orang
yang silau memandangnya.
Maka biarkan diri ini
hanya menjadi “orang dapur”. Karena dalam besarnya gejolak diri dan ambisi yang
ada. Ternyata saya lebih suka menjadi lelaki dalam sepi.
#MelangkahMenginspirasi
gambar disini