Kamis, 08 Oktober 2015

Sendiri

Sendiri.
Siapa yang tahan akan kesendirian. Aku yakin, kamu tak menginginkan itu.
Seperti diri ini, yang enggan sendiri.
Aku yakin itu, walau kadang senyummu menyiratkan bahwa kau tak mempersoalkannya.

Aku tak mengerti, Sungguh. Pada dasarnya aku tak mengerti manusia seperti apa yang bisa bertahan dalam perihnya kesendirian. Hingga pada suatu siang, engkau bercerita tentang sebuah perjalanan. Tentang mimpi-mimpi yang ingin engkau raih. Tentang harapan yang ingin engkau  realisasikan.
 Sendirian. Ya benar, sendirian. Walau kau tak pernah merasa sendiri. Namun tetap saja ku mengatakannya kau sendirian menjalani itu semua.

Engkau ingin pergi. Dengan senyum itu—senyum yang menggambarkan ketegaran. Walau kadang aku masih bertanya, apakah kau membuat-buatnya untuk menutupi kesendirian? Seperti aku yang memaksa senyumku tergores agar terlihat kuat dimatamu?

Mungkin kau merasakannya atau mungkin tidak sama sekali. Kecemasan diri ini akan kesendirian. Kegelisahan hati, akan sebuah kesepian.

Aku kehilangan. Walau ku tak peduli bila kau tak merasakan kehilangan itu. Karena memang kehilangan ada karena rasa kepemilikan. Sedangkan kita tidak pernah merajut apapun. Bahkan memulai sesuatu apapun tidak pernah.

Jadi tidak ada yang terputus dalam hal ini. Karena memang belum ada yang tersambung. Akan tetapi rasa takut kesendirian itu masih memenuhi ruang jiwaku. Apakah mungkin hati ini menerjemahkan kepergianmu berarti kesendirian?

Ah, biarlah rasa ini menerka-nerka sesuka hatinya. Dan biarkan pula aku yang resah ini terdiam hening mendengar semua berita kepergian.

Maka ajari aku bagaimana caramu menghadapinya. Berlawanan dengan sebuah hal mengerikan bernama kesendirian.

-AP-
 Sebuah Fiksi Prosa 
 



 



0 komentar:

Posting Komentar