Siang ini hari begitu
panas. Teriknya mentari seakan-akan mencubit-cubit kulitku. Perih, sangat
menyengat. Sebagian diriku berusaha mencari kesejukkan dengan
mengipas-ngipaskan diri dengan buku yang ku bawa. Dan sebagian lainnya menyesal, mengapa
hari ini aku memilih polo berlengan pendek, bukan kemeja panjang.
Di tempat duduk di
koridor gedung perkuliahan, aku terduduk sambil meminum teh kemasan botol
dingin yang baru saja ku beli. Sejuk, lumayan untuk mengobati panas yang
memeluk diri.
“Ketua.... Ketua...”
Dari sebelah kiri terdengar suara seorang lelaki memanggilku. Dan dengan
sekejap kepala ini juga menengok ke arahnya.
“Wah ketemu sama ketua
disini, lapor ketua, anggota udah lengkap ketua. Yang daftar udah pas. Bagusnya
dalam waktu dekat kita lakukan rapat.” Rupanya itu suara Bima, sekretaris dalam project
event sosial yang sedang aku jalani.
“Wah bagus, berapa
jumlah panitianya?” Tanya ku singkat.
“Nambah lima belas
orang. Jadi anggota kita sudah dua puluh tujuh orang ketua. Oh iya, kira-kira
kapan kita bisa rapat? Besok? Lusa?”
“Lusa InsyaAllah, jam
16.30 ya di taman depan fakultas Ilmu Budaya. Bisa kamu kasih infonya ke
anggota baru dan temen-temen lainnya?”
“Wah pas ketua, siap laksanakan”
Aku tersenyum dan
mengangkat jempol tanda apresiasi dengan semangatnya. Bima sosok yang tak
pernah hilang semangat dalam dirinya. Walau kadang suka panik dalam beberapa
hal, ia adalah seorang yang cekatan dan rapi dalam administrasi, sangat cocok
dengan jurusannya di Akuntansi. Berbeda dengan ku yang agak kurang rapi dalam
arsip mengarsipkan.
“Oh iya ketua, ada anak
MIPA yang badai.”
“Heh? Maksudnya Bim?”
“Namanya Bella, katanya
dari Bandung. Wiiih putih, cantik,
mulus, bohay, fashionable, rambutnya panjang. Pokoknya badai deh. Ketua pasti
tertarik ngeliatnya”
“Hadeeh, udah jadi presenter
infotainmet kamu sekarang Bim?”
“Ya kali ketua
tertarik, kalo kagak aku yang samber nih.”
“Samber, samber, emang
listrik apa. Yaudah sampai ketemu lusa ya, tolong juga kasih tau siapa yang
konfirmasi izin. Oke?”
“Oke sip ketua, aku ke jurusan
dulu ya.”
Aku mengangkat tangan kanan
ku dan tersenyum. Kini Bima berjalan dengan langkahnya yang terlihat ceria.
Cukup cepat hingga dirinya menghilang. Sedangkan aku tetap terduduk disini,
dengan hikmat meminum teh dingin berkemasan botol dengan sesekali mengusap muka yang sudah
banyak mengelurakan keringat.
Aku mendongak ke atas,
dan melihat sekeliling. Banyak mahasiswa – mahasiswi yang bercengkrama. Di
ujung sana ada sekelompok mahasiswi, bersenda gurau. Sepertinya pembicaraannya
menarik, hingga dari kejauhan saja, sangat terlihat bahwa mereka bahagia dengan
pembicaraannya. Apakah dia membicarakan ketampanan lelaki seperti Bima yang
membicarakan kecantikan wanita?
Huft,
cantik? Ganteng? Entah dari mana standarisasi tentang kedua hal ini ada. Apakah
putih dan mulus seperti yang diucapkan Bima dan berbagai iklan kosmetik di
televisi? Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak putih dan mulus. Padahal
putih dan mulus itu adalah stereotip yang dipaksakan penjaja kosmetik kepada
manusia Indonesia agar terpengaruh dan membeli jualannya.
Karena kebanyakan
wanita Indonesia berkulit kuning langsat, sawo matang, coklat dan lain-lain.
Makanya penjual kosmetik Indonesia membuat definisi cantik itu ya putih. Karena
jika cantik itu kuning langsat udah banyak di Indonesia dan dagangannya gak
akan laku. Itulah mengapa, artis-artis dan bintang iklan kosmetik banyak yang
putih. Agar para lelaki tersihir agar mengatakan yang putih seperti itu yang
cantik. Dan para wanita juga terpengaruh agar menjadi putih mulus seperti
bintang iklan tersebut agar terlihat cantik dimata lelaki.
Dan seketika aku
teringat Agnes Monika. Dia cantik dalam definisi orang Indonesia (lebih
tepatnya penjual kosmetik Indonesia). Agnes adalah wanita yang berkulit putih,
mulus dan cantik. Namun lihat ketika dia memutuskan go internasional. Kulitnya yang putih ia ubah menjadi coklat.
Mengapa? Ya karena wanita berkulit putih di Amerika adalah hal yang lumrah. Dan
jika mereka (penjual kosmetik) mengkampanyekan cantik itu putih, ya tidak laku
barang dagangan mereka. Oleh karena itu penjual kosmetik mempropaganda warga
Amerika, cantik itu coklat seperti halnya Beyonce, Rihana dan lainya. Itulah
salah satu alasan mengapa kulit Agnes Monika coklat di penampilan
internasionalnya.
Menarik bukan? Cantik
definisi ini untuk keuntungan ekonomi beberapa pihak dan tentunya sangat tak
adil. Semoga aku berusaha agar tak termakan propaganda ini.
Dalam lamunan
panjangku, aku tersentak mengingat bahwa ada jadwal kuliah dalam waktu dekat. Ku
lihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan 13.36. Terlambat enam menit, saatnya masuk kelas kembali.
***
Rapat sudah di mulai 15
menit yang lalu. Kini Kirana, koordinator bidang acara sedang menjelaskan
gambaran projek sosial yang akan kita laksanakan ke teman-teman yang sedang
bergabung. Aku yang juga pemimpin rapat saat ini dalam posisi memperhatikan.
“Ya sampai disini ada tanggapan
dan pertanyaan?” Tanya kirana
“Aku kak?” seorang mahasiswa
mengangkat tangan.
“Ya silahkan” Aku
mengizinkan.
“Wah bagus kak, kalo
gitu acara yang kita buat seharusnya pasca event ada lagi follow up-nya. Biar impact nya lebih besar dan suistainable.” Mahasiswa itu memberikan tanggapannya.
“Ketua aja yang jawab”
Minta kirana kepada aku.
“Nah bener teman-teman,
event ini hanya sebagai langkah awal. Abis ini kita akan buat sebuah gerakan
yang terprogram dengan baik. Agar potensi-potensi yang telah dijelaskan kirana
tadi bisa kita kembangkan secara maksimal. Oleh karena itu tingkat kesuksesan
event ini, mempengaruhi langkah kita kedepannya.” Jelas ku.
Rapat berjalan sangat
baik, beberapa anggota baru itu cukup kritis dan memberikan masukkan yang baik.
Hingga sepuluh menit kemudian Bima yang berada di sampingku berbisik kepadaku.
“Ketua, itu yang
namanya Bella baru dateng.”
Mata ku tertuju kepada
tiga mahasiswa yang sedang berjalan menuju forum rapat. Aku melihat sekilas,
tak begitu memperhatikan. Lalu kembali fokus kepada penjelasan ide seorang
mahasiswi yang juga anggota baru.
“Assalamu’alaikum” Ucap
salah seorang mahasiswa yang tadi berbarengan langkah dengan Bella.
“Wa’alaikumsalam”
beberapa peserta rapat menjawab.
“Gimana ketua? Badai
kan?” Bima berbisik, pelan.
Kali ini aku tak begitu
mendengar suara Bima. Tanpa aba-aba yang ia ucapkan perhatianku sudah sepenuhnya
teralihkan. Tertuju kepada salah seorang dari tiga orang yang baru saja datang.
Bukan, bukan kepada Bella yang dengan rambut panjang tergerai, kemeja dan jeans
yang cukup ketat. Dan tentunya dempul muka yang terlihat ia sangat lihai dalam
berdandan. Sungguh bukan kepada dia yang mungkin bisa menarik perhatian yang
lain.
Mata ini sungguh telah terfokuskan
kepada seseorang yang membersamainya, gadis berkaca mata yang menggunakan
jilbab hijau terulur panjangg hingga menyentuh bagian pinggangnya. Cardigan hijau
lumut yang ia padukan dengan gamis hijau entah bagaimana serasi dimataku.
Teduh, bagai melihat pepohonan rimbun dalam savana yang luas di tengah hari
yang terik.
Nafas ku tertahan,
jantungku berdegub kencang. Dia dengan sempurna membuat aku merasakan ke anehan yang ku rasa
belum pernah terjadi sepanjang hidupku dalam 15 detik terakhir.
“yee.. Jangan di liat
mulu Bella-nya. Fokus ketua.” Bima menyadarkanku dengan sikutnya yang mengenai
perut ku bagian samping.
“Siapa si yang
ngeliatin Bella. Udah-udah ah bahas ceweknya. Orang lagi rapat tu fokus Bim.”
Aku coba kembali
memfokuskan diri dalam suasana rapat. Kirana masih menjelaskan beberapa hal.
Sebagian peserta rapat sesekali mengangguk-angguk, termasuk dia. Ya dia, entah
bagaimana dia terasa berbeda. Aura macam apa yang terpancar darinya. Dan mata
itu, mata sendu itu bagaimana bisa mengambil alih perhatianku? Dan bagaimana
bisa juga ketukan jantung ini menjadi tak beraturan dan begitu cepat.
Oh Tuhan, mengapa juga
terlalu banyak pertanyaan? Seperti inikah cinta?