Kamis, 29 Desember 2016

Menyimpan Perasaan adalah Hak Setiap Individu

            Suatu hal yang sangat penting di dunia ini yang sangat tidak boleh dicampuri oleh orang lain adalah perasaan.  Ia adalah sisi kehidupan seseorang yang amat privasi, tak boleh ada intervensi apapun dari pihak luar. Karena perasaan lah tempat ia menjadi manusia paling jujur. Seberapa besar kebohongan yang pernah ia buat, ia tetap harus jujur dengan perasaannya.

            Tak boleh kita memaksakan perasaan orang lain terhadap kita, baik itu benci, rindu, dendam, hingga cinta. Setiap orang berhak membenci setiap orang yang dia inginkan, setiap manusia berhak mendendam kepada siapapun yang dia mau. Jika pun ada seseorang yang membenci kita. Bukan ranah kita untuk memaksanya menyukai kita. Begitu-pun perasaan cinta, ia tak bisa dibuat-buat dan dipaksakan. Karena Kahlil Gibran pernah berkata bahwa  “cinta adalah tunas pesona jiwa, dan jika tunas itu tak tercipta dengan sesaat, ia takkan tercipta bertahun-tahun bahkan berabad-abad”.

            Maka berhentilah memaksa perasaan seseorang, karena itu menghabiskan tenaga. Engkau hanya perlu memainkan peran dengan sebaik yang engkau punya kepada setiap orang disekitarmu. Tak boleh ada yang termarjinalkan atau kita asingkan. Berlakulah adil dalam pergaulan, menyebar senyum ke sesama, membantu jika sanggup dan menjadi seseorang yang terbaik semampu kita.

            Jika masih ada seseorang yang membenci kita, tak perlu risau. Itu hak mereka. Jika ada dendam kepada kita, tak perlu gundah. Jadilah insan terbaik semampu kita dihadapannya. Tetap menjadi seseorang ramah dan pemaaf. Juga perasaan dendam dan benci dihati kita, itu juga hak kita untuk mengaturnya, mau disimpan atau dibuang, sekali lagi itu hak kita. Namun karena itu perasaan kita, tentu kita bisa mengaturnya dengan baik, kan? Melenyapkan benci dan dendam bukannya lebih baik?


            Begitu juga bila seseorang yang kita cintai, ternyata tak mencintai kita. Tak perlu memaksakan. Masih banyak cinta lain yang bisa kita perjuangkan, bukan? Atau mungkin, ada seseorang di ujung sana yang menyimpan cinta amat dalam kepada kita. Bahkan orang itu sedang berada disekeliling kehidupan kita sekarang. Siapa yang tahu, kan?


Azmul Pawzi
#MelangkahMenginspirasi



Kamis, 10 November 2016

Tentang Buku Sewindu Menata Rindu



Rindu adalah sebuah konsekuensi akan cinta yang terpendam. Ia akan tumbuh berkembang seiring rasa yang semakin dalam. Adakalanya ia menjadi melodi indah yang menemani setiap senyum  ceria. Ada masanya ia menjadi tersangka akan kesenduan yang melanda. Ia memperlambat waktu, menyita pikiran hingga menguras perasaan. Kadang ia begitu manis, kadang begitu pahit. Kadang ia dinikmati, kadang ia dibenci.
Manusia memang begitu lugu dalam mengartikan rindu. Karena memahaminya tak lebih mudah dari mengerti akan cinta. Keduanya sama-sama pelik, sama-sama sukar dimengerti. Maka aku ingin menuliskannya, tentang kerinduan dalam arti luas. Karena ia bisa saja hadir karena interaksi dengan Tuhan, orang terdekat, benda kesayangan, negara bahkan pahlawan.
Siapa yang dapat mengartikan rindu dengan lugas? Seperti layaknya kebanyakan manusia, saya juga sedang bergulat dengan kenangan juga perasaan yang meluap pengap. Terlebih ketika rindu melanda, ia bagaikan banjir menderas yang menenggelamkan kita dalam kepedihan yang begitu manis. Setiap orang punya banyak cara dalam menangani kerinduan yang mendalam. Sedangkan saya lebih memilih menulis untuk menata setiap rasa. Dan sejatinya menulis adalah proses pengenalan diri lebih dalam, karena kita harus melewati renungan hingga kontemplasi yang cukup intens untuk menghasilkan sebuah tulisan. 
Perjalanan menata rasa tersebut ternyata berbuah positif dari teman-teman sekitar. Mereka memotivasi saya merapikan setiap tulisan, lalu membukukannya. Keraguan yang pada awalnya sempat terpikir dengan mudahnya terpecahkan begitu saja karena dukungan teman-teman dan juga setiap pembaca tulisan saya. Akhirnya saya memutuskan untuk menghimpun tulisan tersebut dan mempublikasikannya dalam bentuk buku.
Sewindu Menata Rindu adalah kumpulan prosa, cerpen, puisi dan berbagai tulisan yang mewakili setiap renungan kehidupan yang senantiasa mengerumuni setiap sudut ruang otak saya. Buku ini adalah cara saya menginterpretasikan rindu dalam setiap lingkupnya. Karena memang rindu begitu kompleks, ia begitu luas hingga dapat hadir dalam interaksi yang kita lakukan.
Bersiaplah untuk membacanya, lalu bersiap juga untuk menata setiap makna. Karena kenangan tiada berharga tanpa hikmah yang kita petik darinya.
*Buku ini sudah diterbitkan oleh Penerbit Mediakita (ig : @mediakita) pada tahun 2017, dan telah tersebar di seluruh Gramedia di seluruh Indonesia dari aceh hingga papua dan toko buku offline dan online lainnya.

Azmul Pawzi
#MelangkahMenginspirasi



Rabu, 28 September 2016

Aku Selalu Menantimu

Aku selalu menantimu
Itulah mengapa aku bersujud kepada-Nya
Menangis tersedu dalam doa-doa

Aku selalu menantimu
Itulah mengapa aku berusaha hadir kerumah-Nya
Menyambut setiap panggilan untuk berjama'ah menyembah Sang Maha Pencipta


Aku selalu menantimu
Itulah mengapa aku memohon ampun dari dosa-dosa
Menyesali setiap maksiat yg terlaksana

Aku selalu menantimu
Karena aku tahu engkau pasti datang menjemputku
Secepat apapun aku menghindar engkau takkan menjauh, namun semakin dekat dan semakin dekat

Aku selalu menantimu
Karena memang hanya orang cerdas yang selalu mengingatmu
Setidaknya itu yang Rasul sabdakan

Aku selalu menantimu
Memisahkan diri dari dunia yang fana
Lalu membawaku menuju keabadian

#MelangkahMenginspirasi

Jumat, 02 September 2016

Menjadi yang Engkau Butuhkan

Kadang aku ingin menjadi mentari
Agar aku dapat bersinar cerah menerangi ruang hatimu
Menghangatkan kala hari dingin, atau mungkin hanya sekedar menyapamu disetiap pagi
Kadang aku ingin menjadi rembulan
Agar aku dapat menghiasi malam-malam kelammu
Mengobati rasa sepi, atau sekedar dapat engkau pandang bila gelap membuatmu gundah
Kadang aku ingin menjadi hujan
Agar aku dapat membasahi tiap-tiap rasamu yang mulai kering
Tempatmu bersenang ria menikmati gemericik air, atau sekedar menarik perhatianmu kala aku hadir
Kadang aku ingin menjadi udara
Agar senantiasa diri ini mengelilingimu
Membantumu dalam menjalani hidup, atau sekedar agar kamu yakin, kala engkau tak melihatku sesungguhnya aku ada dan terasa untukmu
Kadang aku ingin menjadi pelangi
Yang mewarnai langit pikiranmu kala badai cobaan berusaha membuatmu sedih
Menjadi inspirasi tiap imajinasimu, atau sekedar menjadi energi agar engkau menghapus air matamu
Kadang aku ingin menjadi pepohonan
Agar aku dapat menyediakan oksigen segar untukmu
Membuat lingkunganmu terlihat asri, atau sekedar menjadi sandaran saat engkau berteduh membaca buku
Sesungguhnya semua ini sederhana
Aku hanya ingin menjadi sesuatu yang engkau butuhkan
Agar tiada lagi hal yang engkau inginkan selain aku
Atau mungkin hanya sekedar menjadi alasanmu untuk tersenyum setiap hari

Rabu, 31 Agustus 2016

Kegelisahan itu Hadir – Serial Setapak Jalan Dakwah (Part 2)

Setidaknya saya setuju dengan apa yang dikatakan novelis penerima nobel dari jepang bernama Yasunari Kawabata. Ia berkata bahwa “Manusia yang tak mau gelisah, sesungguhnya ia telah mati”. Karena memang kegelisahan bagaikan gerigi yang memaksa seseorang untuk bergerak dan berpikir. Dan pastilah setiap perubahan besar dimuka bumi ini berasal dari sebuah kata yang bernama gelisah.

Setiap otak yang diisi kegelisahan akan memaksa dirinya mencari solusi dari masalah yang meresahkan diri. Semakin besar masalah yang dipikirkan, semakin besar juga kegelisahan yang menimpanya. Namun jika masalah besar itu ditemukan jalan keluarnya, maka semakin luas jugalah dampak yang dibuatnya.

Soekarno, Hatta, Natsir dan berbagai pahlawan bangsa ini dulunya hanya para pemuda yang gelisah. Mereka khawatir akan penjajahan yang merajalela. Pikiran mereka dipenuhi akan kebebasan yang terkungkung kolonialisme. Hati mereka tak nyaman akan imperialisme yang hadir di tanah kelahiran mereka. Menyimpan segala kegelisahan itu, naruni kepahlawanan dalam diri mereka memberontak. Mereka tak bisa memilih untuk diam dari segala gundah gulana didada mereka. Sehingga karena itu semua, mereka lahir menjadi sosok pejuang yang menjadi aktor kemerdekaan bangsa.

Seorang pahlawan butuh kegelisahan untuk bergerak. Seorang pejuang butuh kegelisahan untuk berkarya. Dan dengan kegelisahan itu pula yang membuat sebagian generasi awal islam menjadi pengikut setia Nabi Muhammad SAW dan memeluk islam. Layaknya Abu Bakar yang sejak awal tak menyukai berbagai maksiat dari kaum Jahiliyyah. Ketika Rasulullah hadir membawa ajaran Tauhid, ia menyambut dengan cepat. Seakan-akan setiap pertanyaan dalam jiwanya terjawab sudah, dan putra Abdullah itulah yang membawa jawaban atas pertanyaan yang menghantui dirinya. Juga Abu Dzar Al Ghifari yang rela bermandi keringat melewati teriknya gurun sahara. Berletih ria berjalan dari kampung halaman menuju mekah untuk menemui Muhammad SAW. agar sang Rasul membacakan perkataan yang ingin ia dengar. Yang mungkin perkataan itu telah menjadi pertanyaan besar dalam hidupnya yang membuat hatinya gelisah dan membawanya ke daerah kelahiran Sang Nabi.
Seorang pahlawan butuh kegelisahan untuk bergerak. Seorang pejuang butuh kegelisahan untuk berkarya.
Kegelisahan bisa menjadi awal cahaya islam masuk. Kegelisahan bisa menjadi jalan hidayah yang mengantarkan seorang manusia menjalankan islam secara paripurna. Dan seperti yang kita tahu, hidayah bisa hadir dari manapun dan kapanpun. Waktunya tak terduga, dan kita harus berjuang menyambutnya. Kadang dia hadir dari sebuah pertanyaan atau hal yang ingin sekali kita ingin tahu.

Membangkitkan kegelisahan dapat bermula dari berbagai hal. Dalam kasus diri sendiri, kegelisahanku hadir dengan cara yang begitu sederhana. Dia hanya berawal dari keingintahuan akan seseorang, dan menimbulkan sebuah pertanyaan “siapa dia?”

Kala itu setelah shalat berjama’ah isya, aku menyempatkan diri duduk-duduk di teras masjid sekedar berdiskusi atau mungkin hanya mendengar pembicaraan para jama’ah lainnya yang juga sedang mengobrol ringan. Dan entah darimana awalnya, obrolan malam itu tentang seorang pejuang islam yang meninggal ditangan pemerintah. Dan demi mendengar kematiannya, warga Amerika ketika itu sontak bahagia. Seorang yang menceritakan itu mengambil dari kesaksian seorang ustadz, yang dihari kemudian baru saya ketahui ustadz tersebut bernama Sayyid Quthb.

Maka karena rasa penasaran yang mulai memenuhi dada, aku bertanyalah tentang seorang yang disebut meninggal oleh makar dari pemerintah kepada Mas Fajar. Beliau adalah salah satu pengurus masjid yang sering memberikan saya ilmu keislaman selama saya tergabung menjadi remaja masjid.

“Hasan Al Banna ini siapa ya mas?”

“Dia itu pendiri organisasi Ikhwanul Muslimin, salah satu gerakan dakwah yang berkembang pesat abad ini. Dan gerakan organisasi ini ditakuti oleh Amerika”

Ikhwanul Muslimin? gerakan dakwah? Amerika takut? pembunuhan? Jadilah dalam perjalanan pulang aku bertanya-tanya akan banyak hal. Manusia macam apa yang membuat dia ditakuti negara adidaya seperti Amerika sehingga pemerintah membuat makar untuk membunuhnya bahkan sampai meminta Rumah Sakit untuk tidak merawatnya agar dia meninggal karena kehabisan darah. Manusia macam apa Hasan Al Banna itu? Namun malam itu aku masih memendam pertanyaan itu. Belum ada upaya mencari tahu apalagi mempelajari pemikirannya.

Hingga esok harinya disekolah, seorang teman wanita yang berjilbab besar sedang komat-kamit sebelum bel pagi berbunyi. Karena penasaran lagi, aku bertanya ke wanita itu.

“Eh lu baca apaan?”

“Al-Matsurat mul.” Jawabnya singkat. Sungguh sejak kecil diri ini mengaji, bahkan hingga SMA masih berlanjut, belum pernah mendengar bacaan bernama Al-Matsurat.

“Apaan tu Al-Matsurat?” Tanya ku kembali. Lalu dia menyodorkan sebuah buku kecil dan tipis bertulis Al-Matsurat. Dan yang membuat ku tertarik, ada nama Hasan Al Banna dibagian sampulnya.

“Lu tau Hasan Al Banna? Dia yang nulis ini?”

“Engga mul, Al-Matsurat itu dari Al-Qur’an dan Hadits. Beliau cuma nyusun aja. Kalo Hasan Al Bannanya siapa, mmm gue juga lupa-lupa.” Jawabnya dengan sedikit tertawa.

Maka beberapa kejadian itu menjadikan aku semakin penasaran, barulah aku mulai bertekad untuk mencari tahu siapakah Hasan Al Banna itu, dan gerakan macam apa Ikhwanul Muslimin itu.”


Bersambung



Rabu, 24 Agustus 2016

Pada Mulanya – Serial Setapak Jalan Dakwah (Part 1)


Dalam buku berjudul Fityatun Amanu bi Rabbihim seorang ulama masyur dari Arab Saudi bernama Aidh Al Qarni memaparkan dua penyakit yang menimpa generasi muda, yaitu Syubhat dan Syahwat. Syubhat adalah penyakit yang menyerang pola pikiran manusia sehingga menjadi ragu terhadap Sang Maha Pencipta, membawa kesesatan hingga menyebar pemikiran atheis. Penyakit ini sangatlah berbahaya, karena ia menggerogoti pemikiran dan akan menjadikan penderitanya menjadi orang-orang sok pintar yang membahas Agama tanpa landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang pas.

Kita bisa saja mengambil contoh para pemikir islam liberal yang membuat pernyataan-pernyataan yang mengobok-obok pemikiran umat islam. Contoh pernyataan pemikir liberal yang seperti ini. “Agama adalah urusan pribadi dengan Tuhannya, jadi fokuslah ibadah kita masing-masing.

Maka lihatlah betapa banyak pemuda yang termakan dengan pemikiran ini. Sehingga ketika sebuah nasihat terlontar dalam tempat nongkrong mereka, tanpa waktu panjang akan banyak perkataan seperti “Lu urus sendirilah diri lu, biar gue urus diri gue” atau “Ga usah ceramah-ceramahin gue, lu kalo mau ceramah ke masjid tuh,  jangan disini.” Dan tentunya banyak lagi jawaban atas sebuah pernyataan itu. Pemikiran ini sungguh mengkebiri kebiasaan saling menasihati antar pemuda, sekaligus menghilangkan sosial kontrol yang ada di masyarakat. Sehingga bisa saja kemaksiatan merajalalela tanpa ada orang yan meluruskan.

Tentu saja itu baru satu contoh. Belum lagi berbagai pemikiran-pemikiran sok-sok filsafat yang membawa kepada kesyirikan. Seperti “Allah itu Maha Pencipta, apakah Allah dapat menciptakan Allah lainnya.” Atau “Semua agama itu sama, nggak perlu lah merasa agama paling bener.” Naudzubillah, inilah salah satu penyakit yang membuat para pemuda tersesat sehingga jauh dari Allah Azza wa Jalla.

Penyakit selanjutnya adalah syahwat. Ini menjadi penyakit yang begitu mengerikan. Karena bila syahwat ini tak terkendali, maka ia akan menjadi produsen dosa yang sangat sulit dihentikan. Karena syahwat ini menjanjikan kesenangan dan kebebasan. Kita ambil contoh tiga hal penyakit syahwat, pacaran, video porno dan mabuk-mabukan.

Sungguh, tiga hal ini bukanlah hal asing disekitaran pemuda. Berpesta dengan berbotol-botol anggur, berbatang-batang gele (ganja) dan berbagai hal memabukan lainnya. Muda-mudi berjalan ria, menghabiskan hari dengan suka cita, bergandeng tangan, tertawa hingga akhirnya hubungan badan atas hubungan pacaran. Hingga pemuda yang candu akan melihat video dan foto-foto porno.

Syubhat dan Syahwat, keduanya menjadi krisis, dan aku sebagai pemuda akhir zaman melihatnya, mendengarnya, bahkan merasakan berbagai penyakit umat ini. Maka izinkan aku bercerita tentang pengalamanku dalam melihat fenomena ini dalam kacamata sebagai pemuda.

Aku adalah pemuda yang lahir dan besar di Jakarta. Sebuah kota metropolitan yang menjadi pusat perkembangan berbagai hal, termasuk kehidupan sosial. Dalam beragamnya pergaulan di ibukota negara. Allah menakdirkan aku menjadi anak supel yang mampu menyesuaikan berbagai pergaulan. Maka jadilah aku seorang pemuda yang dapat merasakan berbagai pergaulan, baik itu anak-anak warnet yang sering main game online, anak jalanan yang kerjanya nongkrong pinggir jalan dan beberapa kali tawuran, anak band rock, anak-anak pintar yang kerjanya belajar, dan berbagai pergaulan lainnya. Semua pergaulan itu tentunya diluar aktivitasku yang juga menjalani berbagai organisasi dan ekstrakulikuler.  

Dalam beragamnya warna pergaulan maka wajar jika aku melihat berbagai kemerosotan umat. Yang anehnya pada saat itu ternyata para pemudanya (termasuk aku saat itu) mengatakan itu “keren”. Pernahkah kau melihatnya, seorang anak gadis kelas 6 SD menjadi pelampiasan syahwat para anak-anak kecil lainnya dan ternyata anak gadis itu senang?

Aku yang saat ini sesungguhnya tidak percaya, namun ternyata kehidupan masa lalu memang merekamnya sangat jelas. Ketika itu teman-teman seumuran yang kala itu berstatus siswa SMP kelas satu hingga kelas tiga sudah nongkrong di tempat biasa, di pinggir jalan belakang sebuah supermarket. Saat itu aku datang terlambat, kira-kira jam setengah 11 malam, dan langsung dikagetkan ada seorang gadis yang sudah dikelilingi teman-temanku dan melakukan ciuman bergantian dengan kira-kira ada 5 hingga 7 orang disana.

“Cewek dari mana tuh?” tanya ku penasaran.

“Katanya sih anak kampungan ******, kelas 6 tu bocah baru.” Jawab seorang temanku yang saat itu baru saja membakar rokoknya.

“Ko bisa disini tu anak?”

“Ngga tau dah, ketemu aja tadi. Di ajak nongkrong mau-mau aja die.”

“Dari jam berapa tu anak dimari?” Tanyaku lebih dalam.

“Yaelah banyak nanya amat dah lu mul. Kalo pengen gabung dah sono.” Kembali dia menjawab yang kali ini menghembuskan asap rokok dari mulutnya.

“Ogah dah, males gue sama cewek dipake rame-rame gitu.” Jawabku singkat. Hal ini tidaklah bohong. Karena pada saat itu ekspektasi wanita yang ku inginkan waktu yang tidak semua lelaki bisa memegangnya dan juga aku masih takut dosa. Maklum saja, anak pengajian. Walau ku akui banyak isi pengajian itu yang tak terserap menjadi sebuah pemahaman. Maka jadilah aku saat itu seperti remaja biasanya, walau memang tidak separah yang lain.

Ketika malam semakin larut, tahukah kalian apa yang terjadi? Teman-temanku itu semakin beringas melakukan apa yang mereka inginkan ke gadis itu. Dan yang tak habis pikir, gadis itu senang-senang saja. Hingga setelah sekian lama, seorang diantara teman-temanku menyuruh agar jangan banyak-banyak yang disini. “Dua orang aja disini, jangan kebanyakan. Nanti gantian” begitu ucapnya. Dan akhirnya kami yang tersisa berpencar. Aku yang masa bodo dan ogah ambil pusing lebih memilih pulang dan pergi kerumah. Apa yang terjadi selanjutnya? Aku tak tahu, yang pasti mengerikan jika dibayangkan.

Tidak begitu lama aku mengikuti pergaulan dijalanan seperti itu, hanya beberapa bulan saja. Karena memang ketika itu adrenalin ku sudah terpompa dalam berselancar di dunia para gamer. Kehidupan bermain game online menjadikan aku pelanggan setia di warnet dan banyak waktu ku habiskan disana. Banyak hal yang ku alami dalam menjadi anak warnet ini. Misalnya di sebuah warnet yang menyediakan jasa paket malam dan tanpa aturan membuka situs apapun. Banyak kejadian yang jika ku ingat adalah hal yang seharusnya menjadi perhatian para orangtua.

Berulang kali kutemukan, anak-anak kecil sekitar kelas 1 hingga 4 SD di warnet membuka situs-situs porno. Bahkan mereka mengetahui alamat dan cara membukanya dari mas-mas yang juga membuka situs itu. Sungguh miris rasanya jika diingat saat ini. Mengapa aku yang dulu hanya memilih untuk tak ambil pusing dan fokus kepada game yang ku mainkan? Kenapa ketika itu aku bersikap tak acuh, bukannya mengingatkan mereka?  

Sungguh masalah pornografi ini bukanlah hal yang remeh-temeh. Ini adalah masalah umat yang harus diperhatikan para orangtua. Karena itu semua itu tidak hanya merusak moral seorang anak, bahkan menurut bunda Elly Risman dapat menghancurkan lima bagian otak. Dan hebatnya masalah ini, setiap anak-anak memiliki kesempatan besar untuk mengkonsumsi gambar-gambar haram itu dengan gadget dan internet yang dengan mudah mereka akses.

Dua contoh diatas sudah menjadi gambaran betapa mengerikannya dunia anak muda masa kini. Dan diluar itu semua entah sudah berapa banyak teman-temanku yang berbangga telah melakukan hubungan badan dengan pacarnya. Entah sudah berapa banyak teman-teman yang berhenti sekolah karena mereka hamil diluar nikah. Entah sudah berapa banyak teman-temanku yang dalam depresinya meminum anggur atau menghisap ganja. Entah sudah berapa banyak teman-temanku yang direhabilitasi karena masalah narkoba, bahkan ada yang tertangkap karena menjadi bandar narkoba. Entah sudah berapa banyak kesia-sia’an dan kehancuran pemuda yang ku lihat disekitaran diriku selama hidup.

Aku mengingatnya, aku mengenangnya. Banyak diantaranya yang dulu sangat dekat. Bermain dan tertawa bersama. Namun kini mereka menjadi korban atas kebringasan dan kerasnya kehidupan jahiliyyah modern.

Dan ini semua bukanlah sebuah dongeng, ini bukanlah cerita fiktif di negeri antah berantah. Ini adalah kehidupan pemuda masa kini kita jalani. Dunia yang ku lihat dan aku berada disana, yang mungkin kalian juga menemukan hal yang lebih mengerikan dari pada ini semua.

Maka inilah masalah pemuda masa kini. Inilah penyakit yang mengidap hingga kejantung kehidupan para generasi penerus. Apakah engkau juga melihatnya?

(Bersambung)

Senin, 22 Agustus 2016

Pagi

Lihatlah keluar dan tataplah pepohonan
Ditemani desauan angin yang membelai lembut daunnya
Ia menari gemulai, rantingnya seakan melambai mesra
Menggoda untuk tidak memalingkan pandangan dari pesonanya

Lalu pejamkan matamu, dan rasakanlah
Burung-burung yang berkicauan merdu dengan ceria
Bersaut-sautan dengan sekali-kali mengibaskan sayap
Yang tiada malu menampilkan harmoni beragam nada

Dalam hembusan nafas yang kian melambat
Tenggelamkanlah dirimu dengan bisikan kata penuh do'a
Khusyuk'an hati dalam syukur dan ketundukan
Dan gamitlah pagi dengan semangat tak terkira.

#MelangkahMenginspirasi

Selasa, 02 Agustus 2016

Tuhan, Seperti Inikah Cinta? ~ (Part 1)

Siang ini hari begitu panas. Teriknya mentari seakan-akan mencubit-cubit kulitku. Perih, sangat menyengat. Sebagian diriku berusaha mencari kesejukkan dengan mengipas-ngipaskan diri dengan buku yang ku bawa. Dan sebagian lainnya menyesal, mengapa hari ini aku memilih polo berlengan pendek, bukan kemeja panjang.

Di tempat duduk di koridor gedung perkuliahan, aku terduduk sambil meminum teh kemasan botol dingin yang baru saja ku beli. Sejuk, lumayan untuk mengobati panas yang memeluk diri.

“Ketua.... Ketua...” Dari sebelah kiri terdengar suara seorang lelaki memanggilku. Dan dengan sekejap kepala ini juga menengok ke arahnya.

“Wah ketemu sama ketua disini, lapor ketua, anggota udah lengkap ketua. Yang daftar udah pas. Bagusnya dalam waktu dekat kita lakukan rapat.” Rupanya itu suara Bima, sekretaris  dalam project event sosial yang sedang aku jalani.

“Wah bagus, berapa jumlah panitianya?” Tanya ku singkat.

“Nambah lima belas orang. Jadi anggota kita sudah dua puluh tujuh orang ketua. Oh iya, kira-kira kapan kita bisa rapat? Besok? Lusa?”

“Lusa InsyaAllah, jam 16.30 ya di taman depan fakultas Ilmu Budaya. Bisa kamu kasih infonya ke anggota baru dan temen-temen lainnya?”

“Wah pas ketua, siap laksanakan”

Aku tersenyum dan mengangkat jempol tanda apresiasi dengan semangatnya. Bima sosok yang tak pernah hilang semangat dalam dirinya. Walau kadang suka panik dalam beberapa hal, ia adalah seorang yang cekatan dan rapi dalam administrasi, sangat cocok dengan jurusannya di Akuntansi. Berbeda dengan ku yang agak kurang rapi dalam arsip mengarsipkan.

“Oh iya ketua, ada anak MIPA yang badai.”

“Heh? Maksudnya Bim?”

“Namanya Bella, katanya dari Bandung. Wiiih putih, cantik, mulus, bohay, fashionable, rambutnya panjang. Pokoknya badai deh. Ketua pasti tertarik ngeliatnya”

“Hadeeh, udah jadi presenter infotainmet kamu sekarang Bim?”

“Ya kali ketua tertarik, kalo kagak aku yang samber nih.”

“Samber, samber, emang listrik apa. Yaudah sampai ketemu lusa ya, tolong juga kasih tau siapa yang konfirmasi izin. Oke?”

“Oke sip ketua, aku ke jurusan dulu ya.”

Aku mengangkat tangan kanan ku dan tersenyum. Kini Bima berjalan dengan langkahnya yang terlihat ceria. Cukup cepat hingga dirinya menghilang. Sedangkan aku tetap terduduk disini, dengan hikmat meminum teh dingin berkemasan botol  dengan sesekali mengusap muka yang sudah banyak mengelurakan keringat.

Aku mendongak ke atas, dan melihat sekeliling. Banyak mahasiswa – mahasiswi yang bercengkrama. Di ujung sana ada sekelompok mahasiswi, bersenda gurau. Sepertinya pembicaraannya menarik, hingga dari kejauhan saja, sangat terlihat bahwa mereka bahagia dengan pembicaraannya. Apakah dia membicarakan ketampanan lelaki seperti Bima yang membicarakan kecantikan wanita?

Huft, cantik? Ganteng? Entah dari mana standarisasi tentang kedua hal ini ada. Apakah putih dan mulus seperti yang diucapkan Bima dan berbagai iklan kosmetik di televisi? Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak putih dan mulus. Padahal putih dan mulus itu adalah stereotip yang dipaksakan penjaja kosmetik kepada manusia Indonesia agar terpengaruh dan membeli jualannya.

Karena kebanyakan wanita Indonesia berkulit kuning langsat, sawo matang, coklat dan lain-lain. Makanya penjual kosmetik Indonesia membuat definisi cantik itu ya putih. Karena jika cantik itu kuning langsat udah banyak di Indonesia dan dagangannya gak akan laku. Itulah mengapa, artis-artis dan bintang iklan kosmetik banyak yang putih. Agar para lelaki tersihir agar mengatakan yang putih seperti itu yang cantik. Dan para wanita juga terpengaruh agar menjadi putih mulus seperti bintang iklan tersebut agar terlihat cantik dimata lelaki.

Dan seketika aku teringat Agnes Monika. Dia cantik dalam definisi orang Indonesia (lebih tepatnya penjual kosmetik Indonesia). Agnes adalah wanita yang berkulit putih, mulus dan cantik. Namun lihat ketika dia memutuskan go internasional. Kulitnya yang putih ia ubah menjadi coklat. Mengapa? Ya karena wanita berkulit putih di Amerika adalah hal yang lumrah. Dan jika mereka (penjual kosmetik) mengkampanyekan cantik itu putih, ya tidak laku barang dagangan mereka. Oleh karena itu penjual kosmetik mempropaganda warga Amerika, cantik itu coklat seperti halnya Beyonce, Rihana dan lainya. Itulah salah satu alasan mengapa kulit Agnes Monika coklat di penampilan internasionalnya.

Menarik bukan? Cantik definisi ini untuk keuntungan ekonomi beberapa pihak dan tentunya sangat tak adil. Semoga aku berusaha agar tak termakan propaganda ini.
Dalam lamunan panjangku, aku tersentak mengingat bahwa ada jadwal kuliah dalam waktu dekat. Ku lihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan 13.36. Terlambat enam menit,  saatnya masuk kelas kembali.
                                                                        ***

Rapat sudah di mulai 15 menit yang lalu. Kini Kirana, koordinator bidang acara sedang menjelaskan gambaran projek sosial yang akan kita laksanakan ke teman-teman yang sedang bergabung. Aku yang juga pemimpin rapat saat ini dalam posisi memperhatikan.

“Ya sampai disini ada tanggapan dan pertanyaan?” Tanya kirana

“Aku kak?” seorang mahasiswa mengangkat tangan.

“Ya silahkan” Aku mengizinkan.

“Wah bagus kak, kalo gitu acara yang kita buat seharusnya pasca event ada lagi follow up-nya. Biar impact nya lebih besar dan suistainable.” Mahasiswa itu memberikan tanggapannya.

“Ketua aja yang jawab” Minta kirana kepada aku.

“Nah bener teman-teman, event ini hanya sebagai langkah awal. Abis ini kita akan buat sebuah gerakan yang terprogram dengan baik. Agar potensi-potensi yang telah dijelaskan kirana tadi bisa kita kembangkan secara maksimal. Oleh karena itu tingkat kesuksesan event ini, mempengaruhi langkah kita kedepannya.” Jelas ku.

Rapat berjalan sangat baik, beberapa anggota baru itu cukup kritis dan memberikan masukkan yang baik. Hingga sepuluh menit kemudian Bima yang berada di sampingku berbisik kepadaku.

“Ketua, itu yang namanya Bella baru dateng.”

Mata ku tertuju kepada tiga mahasiswa yang sedang berjalan menuju forum rapat. Aku melihat sekilas, tak begitu memperhatikan. Lalu kembali fokus kepada penjelasan ide seorang mahasiswi yang juga anggota baru.

“Assalamu’alaikum” Ucap salah seorang mahasiswa yang tadi berbarengan langkah dengan Bella.

“Wa’alaikumsalam” beberapa peserta rapat menjawab.

“Gimana ketua? Badai kan?” Bima berbisik, pelan.

Kali ini aku tak begitu mendengar suara Bima. Tanpa aba-aba yang ia ucapkan perhatianku sudah sepenuhnya teralihkan. Tertuju kepada salah seorang dari tiga orang yang baru saja datang. Bukan, bukan kepada Bella yang dengan rambut panjang tergerai, kemeja dan jeans yang cukup ketat. Dan tentunya dempul muka yang terlihat ia sangat lihai dalam berdandan. Sungguh bukan kepada dia yang mungkin bisa menarik perhatian yang lain.

Mata ini sungguh telah terfokuskan kepada seseorang yang membersamainya, gadis berkaca mata yang menggunakan jilbab hijau terulur panjangg hingga menyentuh bagian pinggangnya. Cardigan hijau lumut yang ia padukan dengan gamis hijau entah bagaimana serasi dimataku. Teduh, bagai melihat pepohonan rimbun dalam savana yang luas di tengah hari yang terik.

Nafas ku tertahan, jantungku berdegub kencang. Dia dengan sempurna  membuat aku merasakan ke anehan yang ku rasa belum pernah terjadi sepanjang hidupku dalam 15 detik terakhir.

“yee.. Jangan di liat mulu Bella-nya. Fokus ketua.” Bima menyadarkanku dengan sikutnya yang mengenai perut ku bagian samping.

“Siapa si yang ngeliatin Bella. Udah-udah ah bahas ceweknya. Orang lagi rapat tu fokus Bim.”

Aku coba kembali memfokuskan diri dalam suasana rapat. Kirana masih menjelaskan beberapa hal. Sebagian peserta rapat sesekali mengangguk-angguk, termasuk dia. Ya dia, entah bagaimana dia terasa berbeda. Aura macam apa yang terpancar darinya. Dan mata itu, mata sendu itu bagaimana bisa mengambil alih perhatianku? Dan bagaimana bisa juga ketukan jantung ini menjadi tak beraturan dan begitu cepat.

Oh Tuhan, mengapa juga terlalu banyak pertanyaan? Seperti inikah cinta?

(Bersambung) 


gambar

Selasa, 26 Juli 2016

Remaja Kita Butuh Teladan, Jadilah Teladan itu

Akhir-akhir ini saya mendapatkan sebuah cerita tentang sebuah akun anak muda umur belasan tahun yang dengan “berani” menunjukkan kehidupan bebasnya di media sosial. Awalnya saya tak begitu menggubris apa yang diceritakan teman saya ini. Namun ketika saya mendengar bahwa sang gadis belasan tahun ini memiliki fans yang banyak dan banyak orang yang terinspirasi dari sang artis media sosial ini. Saya jadi menggambil mulai tertarik. Sejauh mana kah ia mempengaruhi anak-anak muda.

Akhirnya saya membuka akun gadis ini. Bukan karena penasaran apa yang ia lakukan. Namun memperhatikan siapa saja yang berkomentar “Keren” ,”SWAG”, “Pengen seperti kak ****” atau mengatakan kehidupan percintaanya relationship goals.

Lalu setelah saya melihat, sangat miris rasanya. Mereka yang ter-insight dengan akun ini rata-rata adalah anak ingusan masih pake seragam putih biru atau putih abu-abu. Bahkan ada juga yang ketika saya buka akun fans sang artis sosmed ini adalah anak bau kencur putih merah.

Tak bisa di elakkan, sang artis ini menjadi terkenal dan jadi role model di kalangan remaja. Banyak remaja yang ingin dengan kehidupan hedon, pacaran, senang-senang, banyak uang, dan tanpa tekanan belajar. Dan dengan jargon “Nakal boleh, Bego jangan.” Anak-anak remaja ingin menjadi SWAG atau keren menurut versi mereka.

Ditambah lagi kehidupan pacaran sang artis yang dikatakan para remaja ini sebagai relationship goals. Ngeri bro, bagaimana bisa kehidupan pacaran yang isinya mesum, berduaan dengan pose seksi dan menebar kemesraan c**man dan pel*kan dengan vulgar di bilang relationship goals.

Ini ngeri, sangat ngeri. Ini menunjukkan bahwa memang benar remaja bangsa kita krisis figur. Anak-anak muda kita kekuarangan role model. Dunia maya yang dapat di lihat digenggaman para remaja telah dipenuhi para perusak moral.

Oleh karena itu, disini saya tidak mengajak teman-teman pembaca untuk memaki sang artis-artis sosmed yang sangat banyak menyebar hal negatif. Disini saya ingin mengajak temen-temen untuk melawan mereka dengan memberikan keteladanan yang baik untuk remaja. Saya yakin pembaca memiliki banyak kegiatan positif, pemikiran yang cerdas dan karya yang punya manfaat. Jadi dengan bermodal akun sosmed teman-teman mari lakukan dua hal ini.
  1.  Menginspirasilah, gunakan akun sosial media mu untuk menyebar kebaikan. Sekecil apapun itu. Jadikan kehidupanmu bisa menjadi teladan. Jika kau punya kesibukan organisasi yang mengembangakn dirimu, bagikan. Jika kamu memiliki prestasi, sebarkan. Atau hanya sekedar ikut kegiatan pengajian, ya tunjukkan. Gunakan media ini untuk menginspirasi sekitar. Terutama remaja yang kebingungan mencari panutan. Asah dirimu menjadi panutan remaja-remaja tanggung ini dan sebarkan ke mereka.
    Tunjukkan yang keren itu bukan kehidupan hedon,  bebas semau gue atau sumpah serapah yang mereka tebarkan. Jadikan kehidupan keren itu berprestasi, religius, empati kepada orang lain, berkata baik dan bijak serta menjaga norma sosial.
     
  2. Jika anda bingung konten apa dari diri anda untuk di bagikan. Maka cari atau kembangkan, lalu sambil mencari. Bagikan juga konten positif yang menurutmu memiliki inspirasi yang baik. Jangan anggurin konten-konten positif yang kalian liat di sosmed. Kamu melihat ada sosok yang berprestasi dan empati tinggi, bagikan. Atau ada sekedar teman mu yang menjalankan kegiatan sosial, sebarkan. Jangan biarkan hal positif hanya dinikmati oleh dirimu sendiri. Jika bukan kamu belum mampu menjadi objek keteladanan itu, jadikan orang yang menurutmu pas untuk dijadikan panutan anak-anak muda sekitarmu.
Sombong? Jangan. Pastikan niat kita bukan untuk itu. Niat kita tentu untuk menyelamatkan moral bangsa. Menyelamatkan kehidupan anak muda agar tak terpengaruh konten-konten negatif.

Harus kita pahami, media sosial adalah kemajuan dunia yang tak bisa kita hindari. Dan ini adalah pertarungan sengit, konten seperti apakah yang akan menguasai medsos kita dan anak muda sekitar kita. Mereka yang menyebarkan keburukan saja bangga dan merasa bahagia. Bagaimana bisa kita yang menyebar kebaikan malah takut. Setidaknya niatkan dirimu untuk melawan konten-konten negatif yang ada di sosmed dan agar bisa menjadi amal baik yang bisa kamu kerjakan.

Terakhir, remaja kita kehilangan sosok panutan. Anak muda kita kehilangan role model. Maka kita sebagai anak muda yang resah harus ambil peran ini, harus ambil bagian menjadi solusi. Jangan sampai mereka yang menyebarkan konten negatif menjadi role model remaja-remaja kita.

Kita tidak bisa mengatur atau merubah orang lain secara instan untuk tidak menyebarkan konten negatif. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah membagikan hal positif sebisa kita. Maka, mari sebarkan konten positif di media sosial. Tunjukkan kehidupan cerdas, religius, berprestasi, empati dan hal baik lainnya adalah hal keren yang bisa jadi teladan yang harus di ambil oleh para remaja bangsa Indonesia.

 #MelangahMenginspirasi



gambar

Selasa, 10 Mei 2016

Sewindu Menata Rindu ~ (Part 3 - Tamat)

Waktu terus berlalu. Kumpulan detik-detik itu kini mulai menjadi menit. Dan jumlah menit itu-pun semakin lama semakin bertambah. Sedangkan aku masih duduk termangu dimeja ini. Bibirku kelu, kaki ku membeku. Entah hawa gadis itu mulai menusuk-nusuk diri ini. Rindu yang selama ini memelukku dengan sayapnya, kini mulai terbuka. Belati diantara sayap yang senantiasa menikamku juga mulai menjauh.

Kini, rindu yang menyembilu itu berganti dengan rasa gugup dan takut.  Najma, kini sudah dihadapan. Dan aku masih menjadi lelaki pengecut yang tak bisa berbuat apa-apa.  Keberanianku luruh, aku (sampai sekarang) hanya dapat melihatnya dari jauh. Memperhatikan senyumannya dalam keterdiaman yang tak tahu kapan ujungnya.

Cinta memang membawa kesenangan dan kesedihan dalam setiap episodenya. Ketika tubuh ini luluh lantah karena rindu yang tak kenal ampun merundung pilu. Kini ketakutan yang menyiksa ku. Gigi ku gemetar, dahiku berpeluh. Tubuhku mulai memahami kondisi diri, tanganku yang mulai becek dialiri keringat. Segumpal harapan yang sempat hadir ketika sosoknya datang, kini berubah menjadi resah tiada tara.

Pengecut. Aku mulai berteriak tanpa suara. Apa yang dapat dibanggakan dari cinta yang berucap saja tak berdaya. Dalam kekalutan, aku mulai memaki diri. Sumpah serapah ku tak berujung, penyesalanku tak terelakkkan. Sedangkan ia? Tetap tersenyum indah diselingi gelak tawa ditengah teman-teman wanitanya.
Apakah ia merasakan yang aku rasa? Apakah ia memikirkan apa yang kupikirkan?

“Assalamu’alaikum teman-teman semua. Selamat malam...” Dalam renunganku, pembawa acara mulai membuka acara formal reuni SMP ini. Aku tak peduli, sungguh. Bahkan hingga ratusan kata terucap sang pembawa acara hingga penampilan salah seorang alumni menyanyikan lagu dengan gitar akustiknya, aku tetap tak peduli. Aku disini bukan untuk itu, aku disini untuk Najma.

Sepuluh menit, dua puluh menit, hingga lima puluh menit sudah berlalu. Berbagai rangkaian acara sudah terlaksana. Setiap penampilan dan hiburan sudah tersuguhkan. Dan aku masih tetap disini, menatapnya (masih) dalam kejauhan.

“Teman-teman, nah kayaknya kita butuh empat orang nih untuk nemenin eike ambil kertas serta bacain door prize reunian.” Pembawa acara memasuki acara selanjutnya.

“Nah, Rudi yang dari SMP sampe sekarang masih ganteng aja. Terus Nia miss hebring, sama ustadzah kita Najma. Juga Cakra yang bengong aja di ujung sana. Yuk mari kedepan. Yeay tepuk tangan.”

Aku tersentak, bagai petir yang menyambar. Mata ku langsung menyala, energi mengalir begitu saja disekujur tubuhku. Namaku disebut bersamaan Najma untuk naik ke panggung. Ah, Mike si cowok feminim yang jadi pembawa acara mengerti aku. atau setidaknya dia mendengar jeritan hati ku.

Kini, Rudi sudah berada di panggung, begitu juga Nia. Aku dengan segera menuju panggung. Dan Najma baru saja berdiri dari bangkunya dan mulai melangkahkan kakinya. Tanpa waktu lama, sejurus kemudian Najma sudah berada dihadapanku lebih dekat, lebih dekat lagi. Ia semakin dekat panggung ini. Dan tantangan selanjutnya adalah, menyapa. Ah, ternyata tak mudah menyapanya. Apa yang harus ku katakan? Apakah “hai Najma”, atau “apa kabar Najma?”, atau “wah sudah lama tak jumpa Najma”. Arrrggghh, ternyata tak mudah menyapanya.

“Ini Cakra? Wah apa kabar Cak?” Dalam kebingungan ku Najma menyapaku begitu saja ketika ia sudah berada di panggung.

“Eh emm eh. Hai” Astaga, aku gugup. Bibirku kelu, fikiranku tiba-tiba terfokuskan untuk menenangkan gemuruh dalam dada. Bodoh, aku mulai salah tingkah.

“Baik cakra?” Dia kembali menanyakannya kembali. Memastikan aku menjawab pertanyaannya yang sebelumnya.

“iya Najma, baik. Kamu?” Aku mulai berusaha menguasai diriku. Berusaha menjadi lelaki dewasa dihadapannya. Bukan lagi lelaki ingusan berseragam putih biru.

“Nah teman-teman kita udah di depan. Jadi yuk mari kita minta teman-teman ini ambil kertas di wadah ini. Di mulai dari si cucok Rudi. Yuk mari Rud.” Mike beraksi lagi.
Rudi mulai memasukkan tangannya kedalam wadah berisi nama-nama teman-teman yang sudah tertulis dalam kertas. Sedangkan aku menatap Rudi, sekedar mengalihkan pandangan sejenak menatap Najma.

“Alhamdulillah, Aku baik kok” Ia menjawab pelan, sedikit berbisik. Lalu menyimpulkan senyum setelahnya.

Rudi telah menyelesaikan tugasnya. Nama dikertas itu juga sudah disebutkan. Aku tak mendengarnya, juga sorak sorai tepuk tangan hadiah yang akan diterima. Aku hanya terbuai keindahan yang ku rasakan kini. Berada didekatnya, melihatnya menujukan senyumannya kepadaku, mendengar suaranya dan mata sendunya. Aiiihh, bagai pohon rimbun di padang rerumputan kala mentari begitu terik menyinari dunia. Teduh.

Berapa menit kemudian berlalu. Kami berempat sudah menyelesaikan tugas yang diminta Mike. Penerima Door Prize-pun juga sudah memegang hadiahnya. Kini kami berempat mulai beringsut turun dari panggung.

“Najma, bentar dong. Bisa duduk di situ sebentar?” Aku menunjuk dua bangku kosong di antara empat orang lain yang sudah duduk disekitarnya.

Dia melihat sebentar, mungkin karena tempat duduk disana juga cukup ramai dan terdapat wanita dan pria disana, ia menyetujuinya. Kami menuju bangku itu dan terduduk rapi.

“Kamu sekarang tinggal dimana?” Aku memulai pembicaraan. Selama dipanggung tadi aku sudah mengumpulkan keberanianku, serta aku juga sudah bersumpah. Tidak adalagi mulut yang tak berbicara. Tidak ada lagi kata yang tak terucap.

Diawali dengan senyum, ia menjawab “Aku sekarang tinggal gak jauh kok dari sini. Udah setahun setengah bahkan aku udah tinggal sekitaran sini. Sambil-sambil ngajar di TK Sinar Bintang dua lampu merah dari sini.”

“Wah keren, jadi guru TK.” Aku terpesona, sudah pasti jiwa keibuannya telah terpancar kuat dari dirinya. Ditambah lagi sosok guru TK yang pandai mengelola anak-anak. Calon ibu yang baik. Gumamku dalam hati.

“Kamu kerja apa sekarang cak?”

“Aku kerja di kantor Asuransi nih. Lumayan agak jauh sih dari sini.”

Tiba-tiba seorang wanita yang ku kenal bernama Ria duduk disebelah kami lalu menyapa aku dan Najma. Tanpa waktu lama ia sudah larut beberapa perbincangan dengan Najma. Aku hanya memperhatikan mereka. Melihat cara bicara gadis bermata sendu ini yang entah bagaimana begitu manis.

Tak lama kemudian handphone Najma berbunyi. Ia mengangkatnya. Dan beberapa saat kemudian ia terlihat panik, dan mulai gusar.

“Susu udah dikasih? Masih nangis juga? Yaudah deh aku kesana sebentar lagi.” Aku mendengar sedikit perbincangannya. Ada apa dengan susu? Menangis?

“Aduh Ria, Cakra. Aku kayaknya ga bisa sampe abis ikut acara reuni ini. Anak ku nangis, suami aku bingung. Jadi aku harus pulang.” Ucap Najma seketika itu.

“heh Anak? Suami? Kamu udah nikah?” seketika keluar begitu saja pertanyaan itu. Kata-kata yang yang ku dengar barusan hampir saja mencopot jantungku.

“Iya cak. Udah satu setengah tahun juga. Aku pindah kesini lagi karena suami ngajak tinggal disini. Udah ya aku pergi dulu. Assalamu’alaikum.”

Gadis berjilbab itu mulai melangkah menjauh. Punggungnya mulai semakin berjarak lalu lenyap dibalik pintu kafe. Meninggalkan aku yang mematung. Tanpa bicara dan menatap kosong. Ria yang sedari tadi duduk dihadapanku juga sudah pergi. Tak berselera melihat sesosok manusia yang tak menggubris panggilannya.

Aku terhenyuk, sewindu aku menata rindu. Ternyata sudah terlambat. Delapan tahun aku memendam cinta. Ternyata terlewatkan begitu saja. Menyisakan aku dan sayap-sayap yang patah bagai mawar yang terinjak tak berdaya.

Ah, beginilah cinta. Ia memiliki ribuan kemungkinan saat pertama kali jumpa. Kitalah yang terlalu bodoh untuk hanya menginginkan akhir yang indah.

-Tamat-