Siapa yang tak mengenalnya? Pemuda cerdas yag berdiri tegap itu, Ya, aku mengenalnya. Bahkan melebihi mereka-mereka yang setiap hari membicarakannya. Juga melebihi mahasiswi-mahasiswi yang berulang kali ku dengar berbincang tentangnya. Aku mengenalnya, karena memang tidak mungkin ku tak mengenalnya. Namanya terdengar syahdu. Ia menjadi kebanggaan kawan-kawannya, terutama teman-teman se-fakultasnya. Dan tentu saja, teman sefakulyasnya adalah teman sefakultasku.
Ia, seorang lelaki
yang wajahnya bagai mentari yang menyinari semesta. Senyumnya membakar
semangat. Tutur katanya halus dan penuh hikmah. Teman, senior dan junior telah
banyak meneguk inspirasi darinya. Matanya tajam namun teduh. Menyorotkan sebuah
kepedulian. Hingga gerak-geriknya ia lakukan untuk sesama.
Maka tak
mengherankan, ia di tunjuk sebagai ketua himpunan dan melanjutkan menjadi ketua
organisasi kepemudaan tingkat provinsi yang senantiasa bergerilya berjuang
untuk masyarakat. Ya, aku menyaksikannya. Aku menyaksikannya sejak ia berproses
di himpunan dan organisasi kepemudaan itu. Aku menyaksikannya sebagai anggota.
Ia memiliki kepemimpinan mempesona, pengelolaannya rapi, orasinya menggelora.
Tak mudah menemukan seseorang sepertinya.
Dan kini, di
bandara ini, pemuda itu berada di hadapanku. Tidak, tidak, tidak hanya di depan
ku. Lebih tepatnya di hadapan teman-temannya yang lain. Bahkan ia tak tepat di
depanku. Karena aku lebih memilih untuk tak mendekatinya. Dan berdiri di
kerumunan belakang. Tak kuasa rasanya tubuh ini berhadapan dengannya. Bahkan
sampai detik perpisahan ini, aku tak pandai berbasa-basi dengannya walau hanya
sekedar kalimat indah perpisahan. “Selamat tinggal dan hati-hati”, hanya itu
yang ku ucapkan, tiada yang istimewa. Namun kau menyambutnya dengan senyum,
senyum bagai sinaran mentari yang membuatku tak sanggup menatapnya dan memilih
menunduk.
Beberapa saat
berlalu, kau akhirnya berbalik, menuju ruangan untuk mempersiapkan mu terbang
tinggi. Jauh, hingga mungkin ku takkan bertemu denganmu. Engkau pergi, dengan
membawa tas penuh dengan mimpi untuk di realisasikan.
Langkahmu
pasti, derap langkahmu mantap. Aku mengingatnya, dengan mata penuh harapan. Kau
berulang kali kau mengulang ini, mimpi-mimpi mu yang akan kau torehkan pasca
wisuda. Kau sampaikan dengan menggelora di berbagai pelatihan, kau ungkapkan
dengan semangat pada motivation training.
Hingga kini kau mendapatkannya, mimpi untuk ke negara kincir angin untuk
melanjutkan studimu akhirnya kau raih. Hingga satuan gerak kakimu membuat kau jauh,
jauh, dan mengecil hingga kau hilang dari pandanganku. Dan benar, sosok mu
sudah tak terlihat, lenyap tak berbekas.
Aku tak
menangis, sungguh. Bahkan berkaca-kaca saja tidak. Aku masih dapat tersenyum.
Walau ku akui, ada suatu hal yang berguncang dibenak ini. Cukup keras, hingga
sakit dada ini. Guncangan yang tak ku sangka bisa sebesar ini.
“fira.... fira...” Rahel memanggilku, memecahkan segalanya.
“yeee.... dia ngelamun, dah ikhlasin aja Ka Rizki itu pergi.” Lanjutnya
“Apaan sih lu, siapa juga yang ngelamunin dia.” Jawab ku cuek
“Yaudah, kita balik yuk. Anak-anak ngajak makan tuh” Ajak rahel kepada
ku.
Aku pun
mengangguk dan mengikuti langkahnya.
***
“Kadang
kita harus membuat jarak dengan seorang yang kita cintai untuk saling menjaga”.
Pernah ku mendengar ungkapan itu, sebuah ungkapan yang mengitari isi kepalaku.
Sebuah ungkapan yang menegaskan bahwa kita harus menjarak untuk saling menjaga.
Agar tiada yang tersakiti, dan agar tiada yang di murkai oleh-Nya.
Karena
mungkin rasa yang bergejolak dalam jiwa ini membuat kita ingin mendekatinya,
berbicara dengannya, bersenda-gurau dan berjalan bersamanya. Namun kita harus
mengetahui, saat kita mendekatinya, itu akan menjadi jalan awal kenestapaan
kita. Itu bisa menjadi nelangsa dalam hidup kita. Kita rapuh, serapuh iman kita
karena berdekatan dengannya. Kita ringkih, seringkih ketaatan kita kepada Sang
Maha Kuat karena gurauan bersamanya.
Maka,
kita harus mencontoh sang bumi. Karena cintanya kepada matahari, ia jauhkan
dirinya. Agar tiada yang tersakiti, agar tiada yang tercerai-berai. Ia menjarakkan
tubuhnya agar dirinya tak hancur, rusak berkeping-keping. Ia rela. Rela untuk
menjaga dirinya dan matahari dari kehancuran.
Lalu sambil
membuat jarak kita tersebut, kita berdo’a kepada-Nya. Agar cinta yang mengakar
dalam itu, dapat terrealisasikan. Agar mentari yang panas itu, diubah-Nya
menjadi rembulan. Agar ia dapat berlari riang menemani bumi menjalani orbit
hidupnya. Agar ia dapat menerangi bumi dalam kegelapan. Selama-lamanya, hingga
Allah menentukan waktu keberpisahan.
Menjarak
untuk sebuah keterjagaan. Itu yang ku lakukan sejak ku melihatnya. Walau perih,
walau sulit. Semua rasa itu, ku simpan rapat dalam hati dan ku jaga
dalam-dalam. Karena Allah punya jawaban. Karena Sang Maha Indah memiliki skenario
yang tentu indah nanti. Entah matahari itu tetap menjadi matahari. Atau ia
berubah menjadi rembulan nan cantik parasnya.
Biar
ku disini, berjalan seorang diri, melihat mentari ku dari kejauhan, diam dan berulang
kali menggamitkan untaian do’a. Agar rembulan yang dirindui itu hadir untuk
menjawab segala jawaban. Agar rembulan itu datang untuk menghapuskan
kesendirian. (to be continue...)
0 komentar:
Posting Komentar