Gonjang-ganjing turunnya nilai mata uang negara kita terhadap dollar yang menerobos angka Rp 14.000 semakin marak di masyarakat kita. Masyarakat cemas dan khawatir akan keadaan ini. Walau sebagian orang tak paham akan keadaan yang melanda kurs mata uang kita ini. Namun mereka merasakan dari naiknya Sate Padang, Bakso, hingga rendang di rumah masakan padang yang ukurannya semakin imut.
Disini
saya mencoba mengulas sedikit, kenapa rupiah menurun nilainya. Atau dalam
bahasa ekonominya, rupiah terdepresiasi. Pembahasan kali ini tidak mendalam dan
panjang lebar. Saya akan mencoba se-sederhana mungkin agar dapat dipahami oleh
kita semua dan tidak ngantuk membacanya.
Turunnya nilai mata uang tidak
hanya dirasakan oleh bangsa kita saja. Banyak negara-negara lain yang
merasakan. Baik Malaysia, Turki, Brazil, India dan lainnya. Hal ini disebabkan
karena membaiknya perekonomian Negara Amerika sejak krisis global tahun 2008.
Amerika cukup “tertampar keras”dalam
krisis 2008. Hingga pada akhirnya mereka mengambil kebijakan untuk menstimulasi
perekonomian dengan menyuntikkan dollar dengan wadah obligasi yang dikenal
sebagai quantitative easing. Dana
stimulasi ini di investasi ke negara-negara berkembang termasuk ke Indonesia.
Dan Amerika mendapat keuntungan dengan sistem ini cukup besar.
Setelah perekonomian amerika membaik. Mereka ingin mengurangi stimulus dengan
mengurangi pembelian obligasi secara bertahap. Kebijakan ini dalam bahasa
ekonominya adalah tapering off.
Nah, lalu apa dampak dari
kebijakan ini? Dollar yang parkir di Indonesia dalam memodali perekonomian
Indonesia pada pulang kampung dan meninggalkan Indonesia. Modal-modal yang nangkring mulai pergi, atau bahasa
ekonominya capital outflow. Sehingga
dollar menjadi langka dan permintaan akan dollar meningkat. Sudah hukumnya kalo
permintaan meningkat maka nilainya akan naik. Maka ini yang membuat Dollar
terapresiasi sehingga nilai mata uang di negara berkembang termasuk di
Indonesia menurun.
Keinginan Bank Sentral Amerika,
The Fed untuk menaikkan suku bunga juga menjadi salah satu faktor. Amerika yang
mengurangi inflasi karena berkurangnya pengangguran membuat mereka berencana
menaikkan suku bunga. Rencana ini juga yang membuat dollar naik nilainya.
Di tambah lagi keadaan dalam
negeri Indonesia yang juga rapuh. Terlalu banyak modal asing yang lalu lalang
di negara ini. Sehingga ketika modal itu pergi, maka lesu dan bahkan bisa
pingsan perekonomian kita.
Dampak dari defisitnya neraca
perdagangan, atau bahasa simpelnya impor lebih besar dari ekspor selama 3 tahun
terakhir, juga membuat rupiah menjadi lemah. Karena bila impor banyak, maka
permintaan akan rupiah menurun. Ya juga sudah hukumnya kalo permintaan menurun,
nilai juga turun.
Sebenarnya masih banyak faktor
lainnya. Namun ini saja dahulu untuk menjawab sedikit pertanyaan dalam hati
teman-teman. Jadi, memang benar faktor eksternal mempengaruhi dalam turunnya
nilai mata uang kita. Tapi pemerintah harus cepat tanggap dalam
menanggulanginya. Karena angka 14 ribu bukanlah kecil. Ia menjadi rekor
terburuk pasca reformasi.
Pemerintah harus bergerak, agar
PHK yang terjadi di berbagai sektor industri dapat terhentikan, harga-harga
yang melambung dapat di normalkan serta sate padang yang dagingnya mulai
imut-imut mulai seperti sedia kala. Sekian ^_^.
Azmul Pawzi
pandangan yg bs menambah wawasan, trimakasih :)
BalasHapusTerima Kasih kembali ^_^
Hapus