Pelik memang saat kita melihat tragedi hilangnya sosok yang
dicinta dalam kehidupan. Ia perih, bahkan cairan asam yang tersiram dalam luka
tidaklah lebih perih seperti yang dirasakan seorang patah hati.
Orang-orang besar yang pernah tercatat oleh bumi ternyata
pernah jua merasakan. Maka kita mengenal Sayyid Quthb dengan serial patah
hatinya. Dalam sebuah disertasi tentang Sayyid Quthb, diceritakan bahwa seorang
syahid di tiang gantungan ini pernah jatuh cinta. Ia jatuh cinta pada sorot
mata seorang gadis, yang dalam bahasa Sayyid Qutb, bukanlah gadis yang cantik dalam pandangan
orang mesir. Walau seperti itu, cinta Sayyid Quthb telah tercurah. Rasa itu
telah mengalir deras, tak terbendung.
Maka ia pun bersiap meminang gadis itu, sebuah tragedi
terjadi. Ternyata memang benar, kadang akal tak dapat mengikuti resonansi
cinta. Dalam persiapan pernikahannya. Gadis itu jujur bahwa Sayyid Quthb
bukanlah lelaki pertama yang mengisi hatinya.
Retak sudah harapannya. Keangkuhannya rutuh, amarahnya
membuncah. Mimpi meminang gadis yang perawan fisik maupun hati telah usai.
Gadis itu hanya perawan fisik. Dan Sayyid pun membatalkan segala hubungannya
yang siap untuk menikah.
Namun, cinta itu telah terlanjur tercurahkan. Ia layaknya
banjir membandang yang memenuhi hati sang Syahid. Dengan penuh penyesalan, ia
kembali kewanita itu untuk melanjutkan pernikahan yang telah ia batalkan. Akan
tetapi, gadis itu menolak.
Penolakkan itu beriringan dengan patahnya hati sang Sayyid
Quthb. Dalam kelinglungan diri, ia curahkan segala perihnya hati dalam puisi,
hingga terkumpullah bait-bait roman karya Sayyid Quthb. Hingga dalam fase
kehidupan ia selanjutnya, ia dipenjara selama 15 tahun, dan berakhir di tiang
gantungan dalam keadaan sendiri, ya benar sendiri.
Namun, dalam penjara itu, lahirlah Tafsir Qur’an fenomenal
dari tangannya, Fii Zhilalil Qur’an. Sebuah Tafsir yang memiliki keindahan
sastra yang di akui seantero muslim dunia.
Sama layaknya Sang Sastrawan hebat dari Pakistan, kahlil
Gibran. Ia jatuh cinta, mata dan hatinya telah tertuju pada seorang gadis.
Hingga cinta yang tak sampai itu membawanya menulis sebuah buku yang luar biasa
berjudul “Sayap-sayap patah”. Hati mana yang tak tersentuh ketika membaca
bait-bait syair dalam buku tersebut. Ia bagai ruh yang membawa kita kedalam
dalamnya sakit yang dirasakan sang Kahlil Gibran.
Begitulah cinta, ketika ia meninggalkan kita sendiri. Hal
apa yang akan kita lakukan. Terpuruk nista dalam kegalauan, atau merubah
perihnya sakit hati menjadi karya yang dikagumi umat manusia. Para orang-orang
besar memilih yang kedua. Karena cinta yang menyendiri bukanlah sebuah
kenesatapaan. Ia memang menyakitkan, tapi ia dapat menjadi energi yang tak
terkira kala kita bijak menggunakannya.
Sudahkah kau gunakan dengan baik kegalauanmu?
0 komentar:
Posting Komentar