Menjelang esok, saya mencoba mengingat-ingat momen diusia 20-an ini. Baik yang menyenangkan maupun mengharukan.
Dan momen yang sering kali membuat mata meneteskan air secara tak sengaja ketika mengingatnya adalah saat Ibu dipanggil Allah. Sebulan setelah wisuda s1 dan saya berusia 22.
Sebelum wisuda Ibu sudah berada di rumah sakit. Dan Ibu hanya melihat prosesi wisuda saya (di kampus yang Ibu impikan saat beliau SMA) melalui handphone saja. Padahal ketika itu saya mendapatkan penghargaan langsung dari Rektor dihadapan ribuan wisudawan lainnya.
Bahkan kami tak sempat berfoto menggunakan toga. Harapannya saat saya kembali ke Jakarta mendampingi ibu di rumah sakit, ibu bisa kembali pulang seperti sebelum-sebelumnya dan kami bisa berfoto bersama di studio.
Namun Allah berkehendak lain, sejak saat itu kondisi Ibu semakin memburuk. Dan Allah mencukupkan umur Ibu di dunia.
Sejak remaja, saya berusaha menjadi anak lelaki yang "sok kuat" dan bisa diandalkan Ibu. Beberapa kali fase kehidupan yang membuat diri gamang dan gentar, tak pernah saya keluhkan ke Ibu.
Saya hanya meminta ibu santai dan diri ini berpura-pura tangguh dalam mencari cara agar dapat menyelesaikan masalah dan mengejar mimpi tanpa membuat Ibu khawatir.
Dan ketika kepergiannya, barulah terasa diri ini ingin bermanja dipelukannya. Merasakan kembali elusan tangannya di kepala. Dan mengatakan, "Ibu dunia ini berat sekali ternyata." Tapi kesempatan itu sudah tiada. Setidaknya saat di dunia.
Dari kenangan ini seakan Allah mengajarkan, bahwa ada duka yang takkan pernah lenyap. Dia mengendap dan bersemayam di salah satu pojok perasaan. Dan sesekali akan kembali hadir dalam bentuk tangisan.
Namun ini bukan air mata kesedihan. Hanya pertunjukkan rasa yang menampilkan eksistensi cinta. Dan menjadikan seorang insan merindu seumur hidupnya.
Dan itu yang aku rasakan. Semoga diri ini dapat bertemu kembali dengan Ibu dalam surga dan keabadian. Al Fatihah.
9 Juli 2024
#MelangkahMenginspirasi
0 komentar:
Posting Komentar