Selasa, 16 Juli 2024

Sepasang, Seusia, Setujuan, Seseru Itu


Kita adalah sepasang kekasih yang hanya berjarak 6 hari saja. Bulan kelahiran sama, tahun pun juga. Hanya tanggal yang berbeda.

Sehingga cerita masa kecil kita sama. Walau dibesarkan di pulau berbeda. Tapi obrolan masa cilik dan nostalgia juga sama. Seperti kartun minggu pagi yang ditonton atau lagu anak yang dinyanyikan.

Terlebih kita pernah menempuh studi di kampus yang sama, pernah berada pada organisasi yang sama, pernah bekerja di instansi yang sama. Wah banyak sekali persamaannya.

Dan ketika akad telah diikrarkan. Kita pun jadi sepasang insan yang serasa. Setara soal cinta dan kasih sayang. Bahkan saling berlomba menunjukkan siapa yang lebih besar dalam panggung rumah tangga. Tentu dengan cara masing-masing yang berbeda.

Enam setengah tahun berjalan, kita saling menguatkan, walau kadang tak selamanya sependapat, tapi masih setujuan. Kadang diskusi kita begitu seru, sesekali engkau berkata "tidak" atas argumenku. Aku pun kadang demikian.

Tapi itu yang menumbuhkan kita. Sehingga keputusan-keputusan besar dalam perjalanan hidup rumah tangga, hasil kesepakatan bersama.

Belum lagi hal-hal mengasyikkan yang membuat terlintas, "wah ternyata sepasang dan seusia seseru itu."

Dan ketika diri ini baru saja berusia kepala tiga, hari ini engkau pun juga.

Selamat ulang tahun istriku, semoga Allah senantiasa menjagamu, melimpahkan segala rahmat dan ridho-Nya kepadamu melalui cinta dan perlindungan insan di sekelilingmu.

Terima kasih telah menjadi partner tangguh dalam segala cuaca dan setiap kondisi. Terima kasih sudah terus mendampingi apapun yang terjadi, dan terus mendukung setiap upaya dan perjuangan diri ini.

Terima kasih telah menjadi ibu hebat untuk kedua anak kita. Ibad yang selalu semangat dan hawa si ceria. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang terbaik untuk mereka.

Maaf jika kadang masih jadi lelaki ambius lagi keras kepala yang sesekali menyebalkan. Maaf juga jika masih ada janji yg belum tertepati. Percayalah, aku akan terus menjadi lelaki yang akan membuatmu jatuh cinta berkali-kali, walau dengan sensasi yang berbeda saat engkau merasakan cinta itu kepadaku pertama kali.

Terima kasih dan maaf. Dua kata itu yang akan senantiasa menemani jalan hidup bersama, saling membahu, saling belajar, bertumbuh hingga menua. Tanpa keduanya, entah bagaimana kita mendefinisikan rasa cinta dan percaya.

Sekali lagi selamat menempuh fase baru dalam kehidupan, fase insan kepala tiga. Yakinlah, doaku senantiasa menyertaimu, siang dan malam. Dalam terang dan gelap. Meski kamu tak selalu tahu.

Suamimu,
Azmul Pawzi

16 Juli 2024
#MelangkahMenginspirasi

Rabu, 10 Juli 2024

Memasuki Fase Kepala Tiga

Alhamdulillah, tepat hari ini saya berusia tiga puluh tahun. Usia yang terkumpul di dalamnya pikiran tajam, keilmuan terasah, logika kuat, kesehatan prima, ambisi menggebu, finansial cukup, nafsu bergelora dan waktu yang tersedia. Dan menurut saya, semua itu sangat diperlukan untuk pematangan kapasitas sebelum "take off" dalam kontribusi peradaban di usia empat puluhan.

Sebagai pria yang baru saja memasuki fase usia 30-an, setidaknya saya harus menyadari bahwa fase ini begitu krusial bagi seorang muslim. Selain menjadi fase pematangan, juga fase kembali merenungkan apakah rancangan perjalanan hidup yang dikonsep kala remaja, sudah  berjalan sesuai rencana atau minimal masih on the track.

Dan hasil muhasabah itu menjadi bahan dalam penentuan target pencapaian satu dekade kedepan. Karena untuk menjalankan misi ilahi, seorang muslim harus memiliki tiga hal, yakni : tekad yang kuat, perencanaan yang matang dan kapasitas yang mumpuni.

Bismillah.

Semoga memasuki usia tiga puluh tahun,  diri ini bisa terus memaksimalkan segala upaya agar dapat menjadi insan yang lebih baik lagi, membangun keluarga rabbani, meniti karir yang bermanfaat bagi bangsa dan negara, serta di istiqamah-kan dalam menempuh jalan dakwah. Juga memberikan keberkahan dalam setiap detik, menit, jam, hari, bulan, tahun dan satuan waktu apapun yang kami jalani.

Aamiin ya Allah.

10 Juli 2024
#MelangkahMenginspirasi

Selasa, 09 Juli 2024

Melepas Usia Dua Puluhan

Banyak momen-momen bahagia dan pencapaian pribadi di usia dua puluhan ini. Usia 22 tahun wisuda meraih gelar sarjana. Dan dalam prosesi wisuda maju ke depan dan mendapat penghargaan langsung dari Rektor dihadapan ribuan wisudawan dengan predikat Bintang Aktivis Kampus.

Pada usia 23 tahun menikah dan menjadi seorang suami dari kekasih tercinta @rimbunafriyelni , menjalani seru dan menantangnya membangun rumah tangga di usia muda. Semoga kami menjadi keluarga rabbani selalu, sehidup sesurga.

Saat 25 tahun, buah hati pertama kami, Ibad lahir dan saya pun resmi menjadi seorang Ayah. Disusul kelahiran adiknya Hawa, saat kami baru berusia 26 tahun. MasyaAllah.

Dalam karir, bagi saya yg sudah mencari pundi-pundi uang dari masih berstatus mahasiswa, mulai dari Asisten Dosen selama 2 semester di FE Unand, lalu pembina asrama Unand selama 2 tahun, ceperan lain seperti jadi trainer dan surveyor. Hingga setelah wisuda sempat bekerja di salah satu PT di Karawang, lalu memilih untuk berkarir di Sumbar dan mengajar di salah satu pondok pesantren.

Dan di usia 24 tahun ternyata Allah menakdirkan jadi PNS, jalur karir yang dulu zaman kuliah ingin dihindari ternyata Allah memilihkan jalan kesana. Lalu di usia 29 tahun melanjutkan s2 di UGM. Cukup terlambat rasanya, karna baru dapat izin pimpinan. Tapi terasa istimewa karena memboyong keluarga ke Jogja. 

Dalam dunia kepenulisan, diusia 22 tahun buku pertama berjudul "Sewindu Menata Rindu" diterbitkan oleh penerbit besar @mediakita dan tersebar di seluruh gramedia di Indonesia dari Aceh hingga Papua. Di usia 26, buku kedua "Langkah Nyata Mahasiswa Menginspirasi" diterbitkan @quantabooks dan masuk gramedia juga.

Dan tentunya yang saya syukuri adalah tetap Allah istiqamah-kan dalam agenda-agenda kebermanfaatan dan dakwah. Baik dalam bentuk dakwah masyarakat, organisasi & gerakan pemuda.

Alhamdulillah.

Begitulah lembar cerita seorang diri ini di usia dua puluhan, yang mungkin bagi sebagian orang biasa saja. Namun bagi saya punya nilai keindahan tersendiri. Semoga di usia tiga puluhan Allah memberikan pencapaian, kebermanfaatan dan momen indah lainnya. 

9 Juli 2024
#MelangkahMenginspirasi

Merindu Seumur Hidup


Menjelang esok, saya mencoba mengingat-ingat momen diusia 20-an ini. Baik yang menyenangkan maupun mengharukan.

Dan momen yang sering kali membuat mata meneteskan air secara tak sengaja ketika mengingatnya adalah saat Ibu dipanggil Allah. Sebulan setelah wisuda s1 dan saya berusia 22.

Sebelum wisuda Ibu sudah berada di rumah sakit. Dan Ibu hanya melihat prosesi wisuda saya (di kampus yang Ibu impikan saat beliau SMA) melalui handphone saja. Padahal ketika itu saya mendapatkan penghargaan langsung dari Rektor dihadapan ribuan wisudawan lainnya.

Bahkan kami tak sempat berfoto menggunakan toga. Harapannya saat saya kembali ke Jakarta mendampingi ibu di rumah sakit, ibu bisa kembali pulang seperti sebelum-sebelumnya dan kami bisa berfoto bersama di studio. 

Namun Allah berkehendak lain, sejak saat itu kondisi Ibu semakin memburuk. Dan Allah mencukupkan umur Ibu di dunia.

Sejak remaja, saya berusaha menjadi anak lelaki yang "sok kuat" dan bisa diandalkan Ibu. Beberapa kali fase kehidupan yang membuat diri gamang dan gentar, tak pernah saya keluhkan ke Ibu. 

Saya hanya meminta ibu santai dan diri ini berpura-pura tangguh dalam mencari cara agar dapat menyelesaikan masalah dan mengejar mimpi tanpa membuat Ibu khawatir.

Dan ketika kepergiannya, barulah terasa diri ini ingin bermanja dipelukannya. Merasakan kembali elusan tangannya di kepala. Dan mengatakan, "Ibu dunia ini berat sekali ternyata." Tapi kesempatan itu sudah tiada. Setidaknya saat di dunia.

Dari kenangan ini seakan Allah mengajarkan, bahwa ada duka yang takkan pernah lenyap. Dia mengendap dan bersemayam di salah satu pojok perasaan. Dan sesekali akan kembali hadir dalam bentuk tangisan. 

Namun ini bukan air mata kesedihan. Hanya pertunjukkan rasa yang menampilkan eksistensi cinta. Dan menjadikan seorang insan merindu seumur hidupnya.

Dan itu yang aku rasakan. Semoga diri ini dapat bertemu kembali dengan Ibu dalam surga dan keabadian. Al Fatihah.

9 Juli 2024
#MelangkahMenginspirasi

Kamis, 04 Juli 2024

Bukan Sekedar Ambisi Pribadi


Coba bayangkan 200 ribu prajurit Romawi melawan tiga ribu kaum muslimin dalam perang mut’ah. Dan 100 ribuan tentara persia berhadapan dengan 30 ribu pejuang islam dalam perang Qadisiyah dan berhasil menaklukkan Kisra.

Pernahkah kita merenungkan sejenak, bagaimana bisa jumlah yang jauh dari kata seimbang, berhasil mengimbangi bahkan memenangkan pertempuran? Salah satu hikmah yang dapat diambil adalah kualitas kapasitas pribadi.

Di Mekkah sebelum masa kenabian, belum ada sistem politik yang mengatur, belum ada tentara negara yang menjaga keamanan. Maka ia bagaikan hutan belantara, sehingga setiap individu dan kelompok kecil “terpaksa”  harus memiliki kapasitas fisik, kecerdasan dan kewibawaan demi menjaga diri dan keluaga mereka.

Hal ini berbeda dengan bangsa adidaya macam Romawi dan Persia yang masyarakatnya merasa tidak perlu memaksimalkan diri karena merasa sudah ada tentara negara yang menjaga keamanan. Selayaknya ungkapan Michael Hopf : "Hard times create strong men, strong men create good times, good times create weak men, and weak men create hard times".

Terlebih bagi seorang muslim, salah satu misi yang Allah tugaskan adalah menjadi khalifah di muka bumi. Mengelola bumi agar nilai-nilai Rabbani tumbuh dan mengakar dalam kehidupan manusia. Dalam dalam menjalani tanggungjawab ilahi ini. Seorang muslim harus mempersiapkan kapasitas diri agar mampu mengembannya.

Ketika melihat Harun Ar Rasyid, jangan hanya perhatikan kesuksesannya membawa Abbasiyah mencapai puncak kejayaan.  Saat mendengar nama Muhammad Al Fatih, jangan sekedar terkagum karena mengalahkan Bizantium. Tapi bagaimana mereka membina diri secara intens untuk menjalankan misi ilahi dan mencapai kontribusi unggulan yang bisa  diamalkan.
 
Maka saat diri sedang berproses mengkaji ilmu agar dapat dipahami. Berlelah-lelah mempelajari keahlian dalam bidang yang ditapaki. Berkorban banyak hal demi menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Tanamkan dalam hati, bahwa ini bukan sekedar ambisi pribadi. Namun sebuah ikhtiar memenuhi kapasitas agar mampu menjalankan misi Ilahi.

وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ

 4 Juli 2024
#MelangkahMenginspirasi

Selasa, 02 Juli 2024

Merawat Gairah Perjuangan

Sosok kurus itu ditandu oleh prajurit, tubuhnya didera berbagai penyakit, bahkan menyisakan paru-paru yang teririt. Dengan terbatuk dia memimpin peperangan sengit, terus bergerilya walau kondisi pasukan sedang terimpit, namun tak ada pilihan lain selain bangkit, demi menyelamatkan bangsa yang sedang sulit.

Dialah Jenderal Sudirman, darinya kita belajar arti dari persistensi. Pantang menyerah dan tetap fokus mencapai tujuan walau dihantam berbagai rintangan, cobaan, bahkan kegagalan. Tubuh lemah dan keterbatasan tak menjadi alasan untuk berhenti.

Seringkali bertambahnya umur membuat gairah akan mimpi-mimpi indah masa belia semakin memudar. Siklus hidup yang mulai terbebani dengan kewajiban pekerjaan, mencari pundi-pundi uang, dan segala problematika manusia dewasa membuat kita seakan lupa bahwa kita hidup bukan hanya sekedar hidup. 

Seharusnya kian beranjak usia, semakin sadar bahwa alasan kita berpijak di bumi untuk menuntaskan misi, bukan malah terlena dengan ilusi kenikmatan duniawi.

Maka sudah sepantasnya kita merawat gairah perjuangan untuk menuntaskan misi, selayaknya sang Jenderal yang dalam kondisi apapun tetap menjaga hasrat perlawanan kepada para penjajah.

Bukankah Allah berfirman:
اِنْفِرُوْا خِفَافًا وَّثِقَالًا وَّجَاهِدُوْا بِاَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

#MelangkahMenginspirasi
2 Juli 2024

📷 Menyambangi keresidenan asal Sang Jendral

Senin, 01 Juli 2024

Obsesi Melahirkan Energi

Tujuan menumbuhkan misi, misi yang berakar di hati dan disirami dengan cinta akan mekar menjadi obsesi. Obsesi yang mendalam akan memancarkan energi yang takkan terhenti.

Itulah yang sejak lama saya percaya. Dan sejak dahulu, para sosok menyejarah telah mencontohkan bagaimana obsesi itu bekerja. Dan mungkin akan dianggap oleh para pemuda saat ini bagaikan mitos belaka.

Kita dapat berkaca dari sahabat Nabi yang mulia, Abû Ayyûb al-Anshâri yang dengan penuh semangat menempuh perjalanan dari Madinah ke Mesir demi satu hadist, lalu kembali ke Madinah tanpa turun dari untanya.

Atau kita melihat dari Ulama Hadist paling berpengaruh, Imam Bukhari yang dalam semalam menghabiskan 20 lilin untuk penerangannya saat belajar. Atau cendekiawan muslim seperti Ibnu Rusyd yang malam-malamnya selalu ditemani oleh buku, tanpa terkecuali.

Para tokoh sejarah ini memberi teladan bagaimana obsesi dapat menjadi api energi yang “memaksa” kita berbuat diluar nalar untuk meraih tujuan. Mereka menunjukkan bahwa dengan tekad yang tak tergoyahkan, impian yang tampak mustahil pun dapat terwujud.

Dan diusia yang beberapa hari lagi meninggalkan romantisme dua puluhan. Saya kembali mengais dalam diri, apakah masih tertanam obsesi yang mengubah lelah menjadi Lillah? Apakah masih ada tekad yang memanaskan dada untuk terus berbuat?

Semoga api perjuangan ini terus terjaga, hingga Allah yang mencukupkannya.

1 Juli 2024
#MelangkahMenginspirasi