Kala itu, khalifah Al Mahdi sedang beristirahat dalam perjalannanya menuju tanah kelahiran Rasulullah Muhammad. Dalam peristirahatannya, ia mendengar seorang pemuda yang berteriak “aku sedang jatuh cinta”. Mendengar itu, sang khalifah memanggil pemuda itu.
“Apa masalahmu?” Tanya sang khalifah. “Aku mencintai puteri pamanku dan ingin
menikahinya. Tapi ia menolak karena ibuku bukan Arab. Sebab itu aib dalam
tradisi kami.” Jawab si pemuda.
Tanpa pikir panjang, sang khalifah memanggil paman pemuda
tersebut. Kala sang paman telah tiba, Khalifah Al Mahdi-pun berkata padanya.
“Kamu lihat putera-puteri Bani Abbasiyah? Ibu-ibu mereka juga banyak yang bukan
Arab. Lantas apa salah mereka? Sekarang nikahkanlah lelaki ini dengan puterimu
dan terimalah 20 ribu dirham ini: 10 ribu untuk aib dan 10 ribu untuk mahar.
Beruntunglah si pemuda, ia dapati cintanya kala tembok besar
yang menghalangi bersatunya rasa suci itu roboh. Hancur, hingga ia dapat
membersamai sang kekasih hati. Menjemput kebaikan yang dalam sabdanya
Rasulullah “Tidak ada yang lebih baik bagi mereka yang sudah jatuh cinta
kecuali pernikahan.”
Indah bukan? Karena islam adalah agama yang fitrah. Islam
akan ramah terhadap gejolak yang meluap-luap dalam benak seorang insan. Dan
memberi jalan indah untuk berseminya cinta, yaitu pernikahan.
Namun bagaimana bila
hal sebaliknya terjadi? Bila putihnya cinta tak dapat bersatu, ia tersekat
dengan banyak halangan. Maka lihatlah Qais, lihatlah betapa besar gejolak
jiwanya kepada seorang wanita bernama layla. Sebuah rasa yang tergambar rapi
dalam syairnya “Layla laksana minuman yang menyegarkan dan menghilangkan dahaga
kalbuku. Cintaku pada layla adalah cinta suci, tidak tercampur dengan hawa
nafsu walau sebutir debu. Meskipun orang-orang mencela, mengusir dan
menyia-nyiakan diriku.”
Akan tetapi, cinta
tulus yang jiwa selalu merindu, pikiran selalu mengenang dan lidah yang tak
pernah kelu menyebut nama sang kekasih terbentur keras. Sang ayah tak
setuju. Qais terpana, cintanya yang
telah menghujam dalam, mengakar dalam hati tak memiliki jalan. Maka majnun-lah pemuda itu. Beratnya
menanggung cinta membawanya kedalam kegilaan.
Begitu pula Zainuddin dalam karya apik Buya Hamka, 2 bulan
lamanya dirinya terkapar. Menderita, terhina. Tak kuat raganya menanggung
beratnya siksaan rasa, kala Hayati memilih lelaki lain, setelah sang paman tak
menerima lelaki makasar tersebut untuk meminang sang ponakan karena bukan
seorang minang. Maka perihlah batinnya. Hingga hayati meninggal-pun rasa cinta
itu masih menghantuinya. Tak memberi ampun terhadap sang pecinta.
“Dari dulu beginilah cinta, penderitaan tiada akhir.”
Kata-kata Chu Patkai dalam kisah Kera Sakti ini mungkin menjadi kata pas dalam
menggambarkan penderitaan para pecinta. Maka kasihanilah para pecinta, mereka
yang terjebak dalam asmara yang melilit nurani. Tak berdaya dalam menghadapi
rasa yang menerobos dari langit menghujam kehati.
Maka,
Lupakanlah! Lupakanlah cintamu yang tak
dapat bertaut dalam tali pernikahan. Karena cinta yang tak sampai pelaminan
hanya berujung penderitaan.
Maka Lupakanlah! Atau kau akan berakhir seperti Nasr bin
Hajjaj, pemuda tampan yang menjadi pembicaraan para gadis di Madinah saat masa
Umar bin Khattab. Pesona wajahnya tak memiliki arti. Ia berakhir nestapa, tak
sanggup tubuhnya menahan cinta yang tumbuh di tempat yang salah. Ia mencintai
istriorang lain. Maka ia pun menyendiri, sakit dan tubuh kekarnya kurus kering
hingga akhirnya ia meninggal.
Tragis memang, namun itulah hakikatnya. Cinta yang tak menuju pernikahan hanya sebuah
penderitaan.
Dan bila kau menyadari cintamu tak berujung dipelaminan.
Maka lupakanlah cintamu itu!
Azmul Pawzi
keren ka ka ka ka
BalasHapusMakasih ya ^_^
BalasHapus