Minggu, 31 Mei 2015

Maka Lupakanlah Cintamu!


Musim haji-pun tiba, umat muslim mulai berbondong-bondong menuju Kota nan agung, Mekkah. Pada musim itu, seorang pemimpin tertinggi muslim saat itu juga melaksanakan rukun islam kelima tersebut. Ia adalah seorang kepala dari khilafah islamiyah abbasiyah. Khalifah Al Mahdi namanya.

Kala itu, khalifah Al Mahdi sedang beristirahat dalam perjalannanya menuju tanah kelahiran Rasulullah Muhammad. Dalam peristirahatannya, ia mendengar seorang pemuda yang berteriak “aku sedang jatuh cinta”. Mendengar itu, sang khalifah memanggil pemuda itu.

“Apa masalahmu?” Tanya sang khalifah.  “Aku mencintai puteri pamanku dan ingin menikahinya. Tapi ia menolak karena ibuku bukan Arab. Sebab itu aib dalam tradisi kami.” Jawab si pemuda.

Tanpa pikir panjang, sang khalifah memanggil paman pemuda tersebut. Kala sang paman telah tiba, Khalifah Al Mahdi-pun berkata padanya. “Kamu lihat putera-puteri Bani Abbasiyah? Ibu-ibu mereka juga banyak yang bukan Arab. Lantas apa salah mereka? Sekarang nikahkanlah lelaki ini dengan puterimu dan terimalah 20 ribu dirham ini: 10 ribu untuk aib dan 10 ribu untuk mahar.

Beruntunglah si pemuda, ia dapati cintanya kala tembok besar yang menghalangi bersatunya rasa suci itu roboh. Hancur, hingga ia dapat membersamai sang kekasih hati. Menjemput kebaikan yang dalam sabdanya Rasulullah “Tidak ada yang lebih baik bagi mereka yang sudah jatuh cinta kecuali pernikahan.”

Indah bukan? Karena islam adalah agama yang fitrah. Islam akan ramah terhadap gejolak yang meluap-luap dalam benak seorang insan. Dan memberi jalan indah untuk berseminya cinta, yaitu pernikahan.

Namun bagaimana bila hal sebaliknya terjadi? Bila putihnya cinta tak dapat bersatu, ia tersekat dengan banyak halangan. Maka lihatlah Qais, lihatlah betapa besar gejolak jiwanya kepada seorang wanita bernama layla. Sebuah rasa yang tergambar rapi dalam syairnya “Layla laksana minuman yang menyegarkan dan menghilangkan dahaga kalbuku. Cintaku pada layla adalah cinta suci, tidak tercampur dengan hawa nafsu walau sebutir debu. Meskipun orang-orang mencela, mengusir dan menyia-nyiakan diriku.”

Akan tetapi, cinta tulus yang jiwa selalu merindu, pikiran selalu mengenang dan lidah yang tak pernah kelu menyebut nama sang kekasih terbentur keras. Sang ayah tak setuju.  Qais terpana, cintanya yang telah menghujam dalam, mengakar dalam hati tak memiliki jalan. Maka majnun-lah pemuda itu. Beratnya menanggung cinta membawanya kedalam kegilaan.

Begitu pula Zainuddin dalam karya apik Buya Hamka, 2 bulan lamanya dirinya terkapar. Menderita, terhina. Tak kuat raganya menanggung beratnya siksaan rasa, kala Hayati memilih lelaki lain, setelah sang paman tak menerima lelaki makasar tersebut untuk meminang sang ponakan karena bukan seorang minang. Maka perihlah batinnya. Hingga hayati meninggal-pun rasa cinta itu masih menghantuinya. Tak memberi ampun terhadap sang pecinta.

“Dari dulu beginilah cinta, penderitaan tiada akhir.” Kata-kata Chu Patkai dalam kisah Kera Sakti ini mungkin menjadi kata pas dalam menggambarkan penderitaan para pecinta. Maka kasihanilah para pecinta, mereka yang terjebak dalam asmara yang melilit nurani. Tak berdaya dalam menghadapi rasa yang menerobos dari langit menghujam kehati.

Maka, Lupakanlah!  Lupakanlah cintamu yang tak dapat bertaut dalam tali pernikahan. Karena cinta yang tak sampai pelaminan hanya berujung penderitaan.

Maka Lupakanlah! Atau kau akan berakhir seperti Nasr bin Hajjaj, pemuda tampan yang menjadi pembicaraan para gadis di Madinah saat masa Umar bin Khattab. Pesona wajahnya tak memiliki arti. Ia berakhir nestapa, tak sanggup tubuhnya menahan cinta yang tumbuh di tempat yang salah. Ia mencintai istriorang lain. Maka ia pun menyendiri, sakit dan tubuh kekarnya kurus kering hingga akhirnya ia meninggal. 

Tragis memang, namun itulah hakikatnya.  Cinta yang tak menuju pernikahan hanya sebuah penderitaan.
Dan bila kau menyadari cintamu tak berujung dipelaminan.
Maka lupakanlah cintamu itu!

Azmul Pawzi

2 komentar: