Tenda besar terpasang. Hiasan
lampu menggantung indah di tiang-tiangnya. Meriah, megah, namun sederhana.
Deretan kursi memenuhi ruangan. Tamu undangan berlalu lalang. Ada yang sibuk
menikmati sajian, ada yang bersalaman dan berfoto dengan mempelai. Kesibukan
itu ditemani alunan nasyid-nasyid pernikahan islami. Bersenandung dengan
kata-kata nasihat nan syahdu dan menyejukkan.
Itulah
suasananya, pernikahan kami. Saat itu dia begitu tampan dibaluti jas hitam yang
elegan. Sedangkan aku menggunakan gaun putih. Anggrek putih menghiasi jilbab
dikepalaku. “Mempesona” begitu ucap sang mempelai lelaki. “Bahkan langit
tersenyum cerah melihat seorang bidadari bersanding dengan ku” bisiknya saat
kami sedang berjalan beriringan menuju pelaminan. Sebuah kata-kata yang
menyentuh hati.
Kala itu, aku bagai seorang
ratu yang ditemani raja nan tampan dan gagah. Ya, aku mengenalnya sebagai
laki-laki yang shalih dan bijaksana. Tinggi semampai, berwajah teduh dan
berkelakuan baik. Furqon, ya itulah namanya.Dan teman-temanku yang
membincangkan dia sebagai suami idaman terkejut ketika mendengar bahwa aku
dilamar olehnya. Padahal aku baru semester 6. Ya, hal itu terjadi sebulan lalu.
Kini ia sudah berada disini. Disamping ku, dalam pesta pernikahan kami.
Hari-hari kami lalui, kami
yang berusia muda bersiap membuka lembaran baru dalam hidup. Berkeluarga. Dan
kami memiliki syarat menjadi keluarga bahagia.Furqan mencintaiku dan akupun
demikian. Lembaran awal pernikahan kami dipenuhi dengan keberkahan. Suami ku
yang paham agama mewarnai hidup kami dengan warna-warna islam. Kecupan hangat
pada sepertiga malam untuk shalat malam berjama’ah, melantunkan ayat-ayat Sang
Maha Cinta setelah shalat subuh tertunaikan, dan berbagai kegiatan indah lainnya.
Suamiku yang telah wisuda
beberapa bulan sebelum pernikahan kami, sudah bekerja di sebuah perusahaan
sosial di sekitaran kampus, sedangkan aku masih berkutat dengan skripsi yang
belum menemui ujungnya. Kami menjalani
dengan berbagai kejutan dalam kehidupan kami. Termasuk pada saat itu. Saat
matahari senja menyinari bumi. Suamiku pulang kerumah dengan wajah berseri,
senyumnya melambangkan kesenangan tak terhingga. Setelah mengucapkan salam,
kalimat syukur terucap olehnya. “Alhamdulillah” ucapnya “aku lulus S2 ke jepang
,yang”. Dengan sekejap kami telah berpelukan, melantunkan ucapan syukur.
Ketika
mendengar itu aku senang karena impian suami ku tercapai impiannya. Melanjutkan
studi keluar negeri. Namun kesenangan ini sedikit tertahan karena kenyataan
ini. Kenyataan kami harus berpisah. “Makanya cepat selesaikan kuliah mu ya
cantik, biar kita bisa bersama di jepang nantinya” ungkapnya kepada aku di
teras rumah kami. “Besok kita akan berpisah, aku sudah harus terbang ke tokyo.”
Akupun tertegun, hanya dapat diam. Lalu kami saling bertatap. Cukup lama.
Hening. Hingga sebuah kata memecah kesunyian “Aku tunggu kamu di jepang ya”
ucapnya sambil mengecup keningku.
Esok, bandara menjadi saksi
bisu kami. Enam bulan baru pernikahan kami, namun hubungan jarak jauh harus
kami alami. Dua bulan, ya dua bulan lagi janjiku untuk menyelesaikan skripsi ku
dan kami bersama lagi setiap hari. Melakukan berbagai hal bersama.Dan itu
menjadi motivasiku.
Pesawatnya telah terbang
tinggi menyibak awan putih dilangit yang biru. Ia terbang membawa mimpi, mimpi
yang ia idamkan sejak dulu. Dan kini, aku sendiri. Tak ada lagi kecupnya
disepertiga malam, tidak ada lagi salamnya ketika pulang di senja hari.
Lantunan kata nasihatnya, senyumnya yang menyejukkan, ungkapan cinta mesranya
hanya dapat kulihat dan dengar melewati video call.
Dan kehidupan itu mulai ku
jalani, hubungan yang hanya kami lewati dengan perantara teknologi. Dan waktu
meluncur begitu cepat. Bagai desing peluru. Sebulan setengah telah kami lewati.
Malam itu, dibawah langit yang bersih tak tersaput awan. Ditemani bulan dan
bintang gemintang yang membentuk ribuan formasi. Aku duduk, berbincang dengan
suamiku melalui telepon. “Skripsi ku sudah rampung, dan insya Allah 6 hari lagi
aku sidang” ucapkan ku. Selanjutnya kata-kata rindu yang membucah tak sabar
menunggu terucap mesra dalam telepon tersebut.
Kebahagiaan terukir pada
malam itu. Ya, malam itu. Namun tidak untuk besok. Karena esok aku terguncang.
Gempa besar menimpa negeri sakura. Delapan skala richter besarnya guncangan gempa.
Tapi guncangan dihatiku lebih besar dari gempa tersebut. Panik. Khawatir. Entah
apa yang kurasa. Satu hari, dua hari, bahkan hingga lima hari. Ku menunggu,
hanya menunggu kabar. Hingga kabar itu menyapa. Jepang yang terbiasa menghadapi
bencana mengumumkan korban yang hanya lima orang. Dua diantaranya adalah warga
asing dan akan dikirim kenegeri asal. “Muhammad Furqan” nama itu tersebut.
Aaaaarrrrghhhh........
Hancur. Perih. Teriakan tak
bersuara memenuhi jiwaku. Kehilangan ini menusuk-nusuk hati. Ketika kabar itu
tiba hanya deraian air mata yang menemaniku, bahkan hingga jasadnya yang dari
jepang kami makamkan. Aku hanya menatap kosong dipusaranya. Tubuh ku bergetar.
Bagai burung yang menggigil kedinginan.
Berbagai kenangan terlintas. Senyum itu. Kecupan itu.
Gurauan itu. Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang syahdu itu tak dapat ku dengar kembali.
Kini tidak hanya jarak yang
menjadi penghalang kami. Bahkan dunia telah terpisah. Ia, telah tersenyum indah
menatap Rabb-nya. Bermain di taman sugawi. Bermanjakan kenikmatan.
Ditemani bidadari-bidadari surga. Dan aku? Berdiri disini
sendiri, hanya ditemani ribuan perih yang menguras setiap derai air mata yang
ku punya. Namu, di dunia kesedihan ku, kusadari bahwa lelaki shalih seperti mu
pantas menerimanya. Menerima setiap hadiah
luar biasa dari Allah. Dan akhirnya guratan senyum terukir diwajahku.
“semoga kamu tenang disana cintaku” lirih ku berucap.
0 komentar:
Posting Komentar